Selasa, 12 Juni 2018

Mudik tradisi lebaran


Modernisasi telah memunculkan daerah-daerah perkotaan yang membuka peluang usaha dan lapangan pekerjaan bagi warga masyarakat pedesaan. Daerah perkotaan tidak ubahnya menjadi gula bagi semut-semut bernama masyarakat pedesaan yang secara sadar melakukan urbanisasi dengan tujuan untuk mencari penghidupan bagi diri dan keluarganya. Kondisi semacam ini banyak dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota besar lainnya.
Fenomena yang lazim dijumpai sebagai akibat dari urbanisasi warga masyarakat pedesaan di Indonesia adalah adanya tradisi mudik yang terjadi pada waktu-waktu tertentu, terutama saat menjelang lebaran (Idul Fitri). Mudik adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut saat kepulangan kaum urban dari daerah perkotaan ke kampung halaman masing-masing. Fenomana seperti ini dapat dilihat dalam bentuk kegiatan pulang kampung baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun berama-sama (rombongan). Oleh karena itu tidak aneh apabila saat-saat menjelang lebaran, Natal dan Tahun Baru maupun Idul Adha banyak dijumpai arus mudik secara berbondong-bondong dari kota-kota besar ke daerah-daerah pedesaan.
Dari beberapa hari besar seperti tersebut di atas, hari raya yang telah menjadi ajang mudik paling fenomenal adalah saat menjelang hari lebaran. Kondisi demikian dapat dimaklumi mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia memeluk agama Islam. Namun demikian pada akhirnya mudik menjelang lebaran tidak saja berlaku bagi umat Islam, melainkan juga bagi umat agama lain. Siapapun—tidak terbatas umat Islam—merasa berhak melakukan kegiatan mudik menjelang hari lebaran. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut dalam tulisan ini diajukan permasalahan, “Mengapa tradisi mudik masih terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat Indonesia?”
Kehidupan masyarakat Indonesia pada awalnya adalah kehidupan tradisional-agraris yang sangat mengutamakan kebersamaan antar anggota masyarakat di dalamnya. Selaras dengan perkembangan jaman, kehidupan tradisional-agraris ini lambat laum berubah ke arah modernisasi yang pada banyak hal telah menempatkan pola-pola modern-teknologis sebagai mainstream dalam kehidupan individu maupun kelompoknya. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya penetrasi kebudayaan Barat dalam kebudayaan nusantara melalui kancah cultural encounter (pertemuan budaya).
Dengan adanya modernisasi, bagian-bagian tertentu dari kehidupan masyarakat nusantara yang bersifat tradisional, pada akhirnya digantikan dengan pola-pola modern yang cenderung lebih liberal dan individualisme. Oleh karena itu kehidupan masyarakat yang pada awalnya lebih berpola komunal, pada tahap selanjutnya terkikis oleh kepentingan-kepentingan materi dengan cara melakukan upaya ngupaya arta (mencari harta/uang) ke daerah-daerah perkotaan yang mau tidak mau harus merelakan berpisah dengan anggota keluarganya di desa asal tempat tinggal mereka. Masyarakat pedesaan yang pada awalnya rela hidup dalam keserba tidak adaan dan kesederhanaan pada akhirnya tidak lagi dianggap sepadan dengan keinginan-keinginan hidup lebih baik dan berkecukupan dari sisi harta benda.
Kehidupan tradisi mereka bukan dijalani dalam waktu yang pendek. Ciri hidup komunal pada masyarakat Indonesia tidak begitu saja hilang terkikis oleh urbanisasi. Kepergian kaum urban ke kota-kota tujuan dengan meninggalkan keluarga dan kerabatnya pada akhirnya harus mereka tebus dengan saat-saat pulang kampung. Mereka mencari saat-saat penting untuk melakukan pulang kampung. Dalam tradisi Islam, Idul Fitri adalah hari yang memiliki makna penting bagi seluruh umat untuk dalam kebersamaaan, saling memaafkan dan kembali ke fitrah-Nya. Hal inilah yang menjadi alasan utama bagi kaum muslim urban menjadikan hari lebaran sebagai saat untuk berkumpul kembali dengan keluarganya dalam keadaan keserbaadaan dan kebahagiaan.
Saat-saat berkumpulnya warga urban telah menjadi peristiwa yang paradok dengan kecenderungan umum yang terjadi sebelum adanya urbanisasi yang menempatkan masyarakat pedesaan sebagai masyarakat miskin harta dan miskin pengalaman. Mereka kini dapat berkumpul dalam keadaan yang lebih baik karena memiliki uang dan harta yang lebih dibanding sebelum bekerja di kota.
Beberapa hal penting dari fenomena mudik antara lain:
(1) kaum urban bertemu dengan anggota keluarganya,
(2) kaum urban kembali ke kampung halaman membawa hasil kerja berupa uang dan barang keperluan sehar-hari bagi kehidupan keluarganya,
(3) terjadinya hubungan tali silaturahmi antara kaum urban dengan keluarga yang berada di kampung halamannya,
(4) terjadinya arus masuknya finansial dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan.
Selain hal-hal penting sebagaimana tersebut di atas, fenomena mudik sebenarnya juga menyimpan dampak negatif, antara lain:
(1) Pola hidup konsumerisme yang lazim berlaku dalam kehidupan masyarakat perkotaan,
(2) Menimbulkan perilaku mengada-ada yang dilakukan demi menjaga gengsi sebagai orang yang berhasil dalam mencari penghidupan di kota
(3) Masuknya nilai-nilai masyarakat industri yang dijiwai oleh semangat liberalisme dan individualisme yang bermuara pada mengikisnya sifat kegotong-royongan masyarakat pedesaan.

Minggu, 03 Juni 2018

Spiritualitas_vs_supranatural


Spiritualitas berasal dari kata ‘spirit’ yang berarti jiwa. Spiritualitas adalah pengalaman manusia secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas.
Sebuah pencarian personal untuk menjadi berarti, transenden, menyadari keseluruhan jiwa, mencari tujuan, dan memahami spirit sebagai yang menghidupkan esensi pada hidup.
Suatu prinsip hidup seseorang untuk menemukan makna dan tujuan hidup serta hubungan dan rasa keterikatan dengan sesuatu yang misteri, maha tinggi, Tuhan, atau sesuatu yang universal.
Dimensi dan hasil dari spiritual adalah :
adalah sebagai berikut :
Dimensi transenden
Orang spiritual memiliki kepercayaan/belief berdasarkan eksperensial bahwa ada dimensi transenden dalam hidup. Kepercayaan/belief disini dapat berupa perspektif tradisional/agama mengenai Tuhan sampai perspektif psikologis bahwa dimensi transenden adalah eksistensi alamiah dari kesadaran diri dari wilayah ketidaksadaran atau greater self. Orang spiritual memiliki pengalaman transenden atau dalam istilah Maslow “peak experience”. Individu melihat apa yang dilihat tidak hanya apa yang terlihat secara kasat mata, tetapi juga dunia yang tidak dapat terlihat.
Dimensi Makna dan Tujuan hidup.
Orang spiritual akan memiliki makna hidup dan tujuan hidup yang timbul dari keyakinan bahwa hidup itu penuh makna dan orang akan memiliki eksistensi jika memiliki tujuan hidup. Secara aktual, makna dan tujuan hidup setiap orang berbeda‐beda atau bervariasi, tetapi secara umum mereka mampu mengisi “exixtential vacuum” dengan authentic sense bahwa hidup itu penuh makna dan tujuan.
Dimensi Misi Hidup.
Orang spiritual merasa bahwa dirinya harus bertanggung jawab terhadap hidup. Orang spiritual termotivasi oleh metamotivasi, yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.
Dimensi Kesucian Hidup.
Orang spiritual percaya bahwa hidup diinfus oleh kesucian dan sering mengalami perasaan khidmad, takzim, dan kagum meskipun dalam setting nonreligius. Dia tidak melakukan dikotomi dalam hidup (suci dan sekuler; akhirat dan duniawi), tetapi percaya bahwa seluruh kehidupannya adalah akhirat dan bahwa kesucian adalah sebuah keharusan. Orang spiritual dapat sacralize atau religionize dalam seluruh kehidupannya.
Dimensi nilai-nilai material/material values.
Orang spiritual dapat mengapresiasi material good seperti uang dan kedudukan, tetapi tidak melihat kepuasan tertinggi terletak pada uang atau jabatan dan tidak mengunakan uang dan jabatan untuk menggantikan kebutuhan spiritual. Orang spiritual tidak akan menemukan kepuasan dalam materi tetapi kepuasan diperoleh dari spiritual.
Dimensi Altruisme.
Orang spiritual memahami bahwa semua orang bersaudara dan tersentuh oleh penderitaan orang lain. Dia memiliki perasaan/sense kuat mengenai keadilan sosial dan komitmen terhadap cinta dan perilaku altrusitik.
Dimensi Idealisme.
Orang spiritual adalah orang yang visioner, memiliki komitmen untuk membuat dunia menjadi lebih baik lagi. Mereka berkomitmen pada idealisme yang tinggi dan mengaktualisasikan potensinya untuk seluruh aspek kehidupan.
Dimensi Kesadaran Akan Adanya Penderitaan.
Orang spiritual benar‐benar menyadari adanya penderitaan dan kematian. Kesadaran ini membuat dirinya serius terhadap kehidupan karena penderitaan dianggap sebagai ujian. Meskipun demikian, kesadaran ini meningkatkan kegembiraan, apresiasi dan penilaian individu terhadap hidup.
Hasil dari spiritualitas
Spiritualitas yang dimiliki oleh seseorang akan mewarnai kehidupannya. Spiritualitas yang benar akan berdampak pada hubungan individu dengan dirinya sendiri, orang lain, alam, kehidupan dan apapun yang menurut individu akan membawa pada Ultimate.
Rangkuman 9 aspek dimensi diatas dpt disingkat dlm 4 (empat) aspek sebagaimana berikut:
1. Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna. Hal ini mencakup rasa memiliki misi dalam hidup.
2. Memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi positif dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran bahwa nilai-nilai spiritual menawarkan kepuasan yang lebih besar dibandingkan nilai-nilai material, serta spiritualitas memiliki hubungan integral dengan seseorang, diri sendiri, dan semua orang.
3. Menyadari akan keterkaitan dalam kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran akan musibah dalam kehidupan dan tersentuh oleh penderitaan orang lain.
4. Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transendensi adalah menguntungkan. Hal ini mencakup perasaan bahwa segala hal dalam hidup adalah suci.
Demikian uraian yg dapat diterangkan, utk memahami dan sbg wawasan kita, itulah kenapa kita patut bersyukur atas warisan budaya Nusantara dalam kearifan lokal termuat intisari pengalaman spiritual tsb.
Sedang pengertian paranormal atau praktek perdukunan bukanlah spiritual itu sendiri, melainkan predikat yg muncul dr kemampuan rekadaya yg bersumber dr spiritualitas td, dia hanyalah mns yg berorientasi kpd praktek supranatural...karena dalam spiritual meskipun dapat terhubung ke alam gaib...tp esensinya bukanlah ego diri melainkan menuju kpd kesadaran kesemestaan.. Sedang supranatural atau perdukunan pasti selalu terhubung melalui media gaib... Ini jg yg banyak salah diartikan oleh para indigo ataupun praktek paranormal dan perdukunan, misal sebutan sbg guru spiritual yg senyatanya sbg paranormal dll... Bahkan ketidakpahaman (kesadaran) ditutupi dgn delusi dan halusinasi, hingga mimpi pun bisa diartikan sbg kasunyatan... Walaupun sebuah mimpi dpt menjadi sasmita, tp banyak yg tercipta dr bawah sadar karena kondisi psikologi mns..dan itu bukanlah sasmita apalagi kasunyatan...
Karena sejatinya spiritualitas itu lepas dari sangkar jiwa dan memerdekakan diri pada kesadaran diri dan Semesta, lepas dari sekat tembok dan dinding2 perbedaan dalam dualitas, spiritualitas tdk membentuk struktur organisasi dan bendera2 agama, dia mengarungi kemahaluasan dalam kesendirian yang damai dan bahagia...karena bait Allah atau Altar dan kiblat yg menuju kepada Gusti Pangeran adalah dlm kedalaman jiwa manusia itu sendiri, terlepas dari propaganda serta batasan ruang dan waktu....itulah hakikat spiritualitas yg sejati...
Semoga semakin tercerahkan...
Rahayu..
Rahayu...
Rahayu...
  

Tobat

LULUHNYA DINDING BATU PEMISAH

Ketika dalam penyelidikan fenomena dharma
kita dalam keterbukaan hati menemukan kesalahan-kesalahan diri kita sendiri
melihat betapa kejinya kita menempatkan prasangka pada orang yang kita benci
Maka tiada hal lain yang lebih indah
daripada dimampukanNya untuk  dengan kerendahan hati mengakui kesalahan-kesalahan diri sendiri dengan telanjang  dihadapan Tuhan.
Suatu penyesalan sejati pasti diikuti oleh pertobatan,
yaitu suatu komitmen otomatis tanpa keinginan
untuk berusaha dengan segenap kemampuan untuk menjaga diri tidak mengulangi kesalahan2 itu lagi.
Apalagi manakala kita dimampukan untuk  melihat orang yang kita curigai itu
dalam segala kewajarannya yang polos
dan  kerapuhannya dihadapanNya
tanpa sadar hati terdalam menjadi lembab karena isak penyesalan
tangis kedosaan kita
berbisik mendoakan demi keselamatannya
maka dari Langit yang tiba-tiba terbuka
Tuhan mencurahkan Air Kehidupan yang menghapus kemarau hati berkepanjangan yang tandus gersang.
Momen langka yang menjadi tonggak penjuru kehidupan ini
Untuk memahami bahwa tanpa Welas Asih maka tiada secuilpun kebahagiaan yg dapat dirasakan , baik untuk orang lain maupun dirimu sendiri.
Sebaliknya, bila dengan welas asih, maka sekalipun awalnya penuh perjuangan isak tangis, namun pada akhirnya selalu membawa keindahan yang lembut bagi semuanya.
Rahayu!

Minggu, 27 Mei 2018

Sepotong pengetahuan



Banyak orang belajar dari buku hapal berbagai macam istilah / kosa-kata seperti : ego, persepsi, pikiran, perasaan, kesadaran, intuisi, insting, ilham, wahyu, pencerahan, kejernihan, wajah Allah, kerajaan Allah, rumah Tuhan, iman, kesalehan, sakinah, dsb dsb....tapi tidak tahu apa yang sebenar-benarnya dimaksudkan.
Herannya, yang begituan dikembang-biakkan melalui institusi2 sekolah formil bahkan mendapat gelar S1, S2, bahkan doktoral di bidang Theologia / Kalam. Lalu digaji untuk memberikan ceramah-ceramah di depan mimbar ratusan bahkan ribuan orang. Dan hasilnya sebuah masyarakat yang retak.
Sungguh heran!
Mengenai istilah2 itu dan pengertian mendalam meluasnya,   semestinya dimengerti sendiri melalui pengalaman. Saya juga bukan ngambil definisi* dari buku.
Dari pengalaman kita bisa tahu apa itu apa...langsung ke "barang yang dimaksud dalam sebuah kata".
Tanpa suatu laku praktek, proses belajar dan penyelidikan yang terus-menerus, maka kita tidak akan memahami hal ihwalnya. Apalagi istilah-istilah spiritualial itu semua untuk hal-hal yang abstrak yang tidak bisa dilihat 'barang'nya...lantas kalau tidak melalui laku praktek sendiri memeditasikan mengobservasi langsung, bagaimana mungkin ngerti 'mana yang mana' nya?
Mungkin sebagian intelektualis merasa jumawa bahwa hal2 tersebut bisa dianalisa atau dipikir2 / tafsir / hermeneutics, dsb. Tapi ingat! Bila persoalan spiritual itu berkaitan upaya untuk menunjukkan batasan2 pikiran dan kegagalan pikiran dalam mencerap 'what-is-beyond' (apa yang ada disebalik itu), lantas apakah mungkin mencoba menggunakan pikiran untuk mengantar realisasi?
Paling-paling  kita cuman bisa menggunakan metode-pikiran (analytical method) untuk menunjukkan batas-batas pikiran dan selanjutnya hanyalah to INTUIT (mengintuisi) apa yg ada di seberang (what is beyond that). Mengintuisi jelas tidak sama dengan pencerapan langsung terhadap hal-nya. Disitu terdapat gap (jurang) yg tak terseberangi dengan akal pikiran. Tapi tidak mau menggunakan akal pikiran untuk menghantar sampai junction yang tepat, ya lebih buta lagi. Bukan lompat jurang tapi lompat rumah tetangga orang. Hasilnya bukan kelegaan penyeberangan, tapi konflik.
Pelajarannya : Partial knowledge is dangerous.
Pengetahuan yang setengah-setengah adalah berbahaya.
Kalau segala sesuatu tidak dipahami secara benar sebagaimana apa adanya, maka akan membawa musibah.
Coba renungkan : apabila anda mengalami sakit keras hingga organ dalam anda harus dioperasi. Maukah dioperasi oleh dokter bedah yang kuliahnya setengah jalan lalu D.O. (Drop Out)?
Ya, ya, saya ngerti...tapi tolong abaikan jawaban dari orang yang nyawanya murahan. :p
Rahayu!
Catatan :
* Jadi mohon dimaklumi bila ada definisi2 yg kurang akurat krn saya buat on-the-spot tanpa waktu yang cukup lama utk merumuskan secara akurat. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah selama kita memposisikan diri KITA sebagai yang terus menerus membuka diri untuk belajar dan menyempurnakan pemahaman. Dan memang itulah tujuan dari hidup yg sebenarnya : untuk belajar, bukan klaim sudah mencapai.
                           ******

Sabtu, 26 Mei 2018

MENGENAL SUKU TERASING DI PEDALAMAN PULAU HALMAHERA


Bila mendengar kata “ TOGUTIL ”, maka bayangan yang muncul dalam pikiran semua orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera. Tapi mungkin lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi muda ini, misalnya orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dsb, nama suku Togutil mungkin baru kali ini didengarnya. Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya.
Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu.
Suku Togutil adalah suku asli yang terasing di negerinya sendiri. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Walaupun sebagian penduduk sudah makmur, tapi  masih banyaknya saudara kita yang hidup terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti orang-orang Suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau Halmahera”. Walaupun mereka masih primitif karena pola hidup secara nomaden tanpa merobah dan merusak alam, namun keberadaan mereka seperti itu telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua dalam hal melestarikan hutan. Seakan-akan mereka berpesan; janganlah sekali-kali merusak alam.
Pada zaman Pleistochen pulau Halmahera masih menyatu dengan pulau-pulau kecil lainnya yang ada saat ini, seperti pulau; Morotai, Hiri, Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti, Makian, Kayoa, Bacan, Gebe dan sebagainya. Perubahan alam yang terjadi selama ratusan ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara evolusi telah membentuk pulau-pulau kecil. Halmahera adalah merupakan pulau induk di kawasan ini, dan merupakan dataran tertua, selain pulau Seram di Maluku Tengah.
Secara logis, karena pulau Halmahera adalah pulau induk dan daratan tertua, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan kehidupan dan persebaran “manusia Maluku Utara” juga tentu bermula dari daratan ini. Namun bukan itu yang menjadi bahasan saya dalam tulisan ini. Pembahasan hanya terfokus pada keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku Togutil yang masih tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural yang disebabkan karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan lingkungan manusia lainnya. Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga hutan rimba, sungai-sungai dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera menjadi rumah mereka.
Disadari atau tidak, sebagian orang bisa menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia Maluku Utara yang sudah modern dan maju seperti sekarang ini dahulunya adalah juga seperti “orang Togutil” ini.
Bila kita bijak, maka hal ini tidak lantas begitu saja langsung dibantah, karena jika kita mempelajari “Ilmu Anthropologi” maka pasti kita memahami bahwa setiap bangsa atau suku mana saja di muka bumi ini dalam perjalanannya pasti mengalami tahap-tahap perkembangan yang demikian. Misalnya bangsa Kaukasoid (orang Eropa) yang lebih dahulu maju dan telah menjadi manusia modern seperti sekarang ini, dahulunya juga adalah suku primitif (Vicking) yang kehidupannya masih tergantung dengan pemberian alam (Nomad) seperti orang Tugutil ini.
Kembali kepada pembicaraan kita tentang “Suku Togutil”… Catatan ilmiah tentang suku ini, pertama kali dikemukakan tahun 1929 yang berbentuk sebuah artikel pendek yang terdapat dalam buku; “De Ternate Archipel” Serie Q,
No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
Saat ini banyak keterangan-keterangan dari berbagai pihak dan masyarakat tentang orang-orang suku Togutil ini sangat berbeda dan simpang siur antara satu dengan yang lainnya. Semua itu benar, karena mereka tahu dan melihat dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda sehingga deskripsi yang lahir tentang suku Togutil ini pun berbeda pula.
Di pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di tengah seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman Kao, di pedalaman Wasilei dan agak ke selatan juga terdapat beberapa komunitas mereka di pedalaman Maba dan Buli. Setiap komunitas (kelompok) suku primitif ini berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila bertemu.
Namun demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok orang-orang Tugutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil” saja. Yang membedakan sebutan terhadap mereka adalah kawasan yang menjadi tempat pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo, Togutil Kao, Togutil Dodaga, Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.
Usaha pemukiman terhadap masyarakat terasing merupakan program utama pemerintah dalam usaha membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok tanam (bertani). Menetap dengan pengharapan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohani. Usaha ini dimaksudkan agar mereka dapat secepatnya mencapai taraf hidup yang sejajar dengan masyarakat Indonesia umumnya.
Atas pemikiran inilah, Pemerintah daerah di Maluku Utara pada tahun 1971 pernah membangun pemukiman (relokasi) untuk orang-orang suku Togutil Dodaga di kecamatan Wasilei Halmahera Tengah. Yang dimaksud dengan orang-orang Togutil Dodaga adalah sekelompok orang suku Togutil yang berdiam di sekitar hutan dekat Dodaga. Penambahan kata Dodaga di belakang nama golongan etnis ini adalah agar dengan mudah dapat membedakannya dengan orang-orang suku Togutil lain yang terdapat di kecamatan Wasilei, maupun di kecamatan-kecamatan lain di pedalaman pulau Halmahera.
Beberapa saat setelah suku Togutil Dodaga ini bermukim di tempat relokasi yang dibangun pemerintah, mereka kembali lagi ke hutan dan hidup lagi menurut cara yang lama. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal, sedangkan usaha-usaha serupa berhasil di tempat lain, seperti suku Naulu di pulau Seram, orang Dayak Bukit di Kalimantan, suku Sakai di Sumatera dsb.
Masyarakat di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim hujan tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap tidak terbuat dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke hutan. Alasan lain mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.

Selasa, 22 Mei 2018

Tradisi mudik Indonesia

  

Fenomena mudik yang menjadi rutinitas tahunan di Indonesia. Umat islam setelah melakukan puasa sebulan penuh didukung dengan libur hari raya yang cukup lama, mudik telah menjadi kesadaran bersama (collective conciuness) bagi muslim indonesia, khususnya yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung,  dan kota-kota besar lainnya.
Dorongan psikologis untuk melakukan perjalanan menuju kampung halaman ini begitu besarnya, tak heran berita-berita di semua stasiun televisi selalu meliput perkembangan jalur arus mudik dan arus balik, karena begitu massifnya aktivitas ini. walaupun harus mengendarai sepeda motor dengan muatan berlebih, walaupun harus berlama - lama naik kendaraan umum, segala hambatan itu tidak menjadi penghalang bagi perantau untuk menuju tanah kelahirannya.
tujuan utama setiap kita melakukan mudik tidak lain adalah untuk re-unity (penyatuan kembali) keluarga batih yang ada di rantau. silaturahmi, melepas kangen, sekaligus saling memaafkan segala kesalahan dalam relasi selama setahun, itulah berbagai kegiatan yang dituju selama di kampung.
relasi agama dan tradisi
dari meriahnya lebaran dan mudik tadi, kita dapat mengupas relasi antar agama dan juga tradisi. tentu kita telah menyadari bahwa fenomena mudik, bahkan lebaran itu sendiri tak lepas dari tradisi keindonesiaan. Ridwan Saidi budayawan yang juga sejarawan, mengatakan bahwa lebaran (Idul Fitri) adalah tradisi yang sudah ada sejak zaman pra-Islam di kepulauan nusantra. lebih jauh ia memaparkan bahwa ucapan minal aidin wal faizin mohon maaf lahir dan batin’adalah usaha pengislaman tradisi awal. karena kalau kita tinjau dari riwayat rasul, sesungguhnya ucapan ketika idul fitri adalah taqobaollohu minna wa minkum syiamana wa syiamakum dari sisi kita dapat ,elihat begitu jelas kalau lebaran, (dengan ketupat, saling maaf-maafan, dan juga mudik) bukanlah tradisi yang bersumber dari nash-nash agama, namun tradisi nenek moyang kita yang coba dikemas secara Islami oleh para penyebar islam kala itu. Namun, tidak lah jadi masalah, karena memang Islam menoleransi adat-tradisi asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
untuk menambah wawasan kita tentang agama dan tradisi sebagai salah satu fenomena khas muslim indonesia tentunya tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. karena sejatinya kegiatan itu memiliki maksud yang baik. namun menurut saya perlu ada beberapa hal yang harus kita garis bawahi dan koreksi, yaitu :
1. utamakan para tetangga kita dalam bermaaf-maafan.
sebagaimana kita ketahui, kita kerap berlebaran di kampung, dan saling bermaaf-maafan dengan orang-orang yang jarang berinteraksi dengan kita. padahal kalau kita mau jujur, tentunya kesalah-kesalahan kita lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita yaitu ; tetangga kita sendiri.
2. jangan sampai membatalkan puasa
kita sering melihat, para ‘pemudik’ dengan alasan para musafir dengan mudahnya membatalkan puasa. padahal kalau kita tilik hukum puasa adalah wajib, jadi kalau memang fisik kita tidak kuat, lebih baik mudiknya ketika pasca idul fitri. apalgi, sampai meningalkan solat juga, kalau sudah begini kita ragukan misi mudiknya, bukan lagi misi ‘rahmat’ . jadi harus kita niatkan kembali untuk melaksanakan hal-hal yang wajib demi sempurnanya kesilaman kita. apalagi teror ‘kecelakaan’ berkendara sangat tinggi, jangan sampai maut menjemput saat kita meninggalkan kewajiban. nauzubillah
3. jangan berlebihan dan boros
sudah jadi rahasia umum, kalau menjelang idul fitri toko emas ramai diserbu ibu-ibu, suuzon
saya ini adalah suatu bukti kalau idul fitri, kita ingin menampilkan kemegahan dan kemewahan. dengan membawa harta benda yang berlebihan, baju yang mentereng jelas-jelas telah menyimpang jauh dari tujuan mudik yang kita bicarakan di awal. sangat disayangkan, kalau mudik hanya dimaknai sebagai pertunjukan ‘kesuksesan’ kita selama di rantau. karena, kita sama-sama tahu orang yang paling mulia adalah yang paling taqwa, sebagaimana firman Allah ” Inna akromakum indallohi atqokum”.
Kalau kita telaah lagi, begitu maraknya mudik adalah bukti ketimpangan ekonomi di desa dan kota. kota begitu mempesona dan maemiliki daya tarik bag para penduduk desa untuk ramai-ramai mencari peruntungan di metropolitan . Oleh karena itu, berilah semangat untuk orang-orang di desa (kampung kita) yang masih tertinggal secara pengetahuan maupun ekonomi untuk bangkit dalam membangun desa kita tercinta. jangan hanya dimaknai untuk membuktikan ‘eksistensi’ diri semata. Akhirnya, semoga mudik akan mambawa dampak kemajuan bagi bangsa kita, bukan hanya rutinitas tahunan yang hampa, bahkan desturktif. semoga bermanfaat akhir kata Bakul getuk ucapkan selamat menjalankan ibadah puasa dan trimakasih
Wasalam.....

Jumat, 18 Mei 2018

Keutuhan Agama

ASAL MUASAL
Aditya Utama Putra  : Makanya saya sebagai muslim ga kaget lagi. Puasa Ramadhan dari Yahudi, Shalat di hindu ada dengan nama Panca Yadnya, Zakat ada Dhana dalam ajaran Budha.
Nama malaikat ?
Jibril : Gabriel
Mikail : Michael
Izrail : Raizel (cmiiw)
Israfil : Raphael
At Tin :
Buah Tin : persik (??) Sang Gautama
Al Zaytun : Yerusalem, Yesus (cmiiw)
Bukit Tursina : Bukit Sinai, Musa
Al Balad : Mekkah.
Astaga, kadang orang susah banget ya ngakuin kalau semua agama itu satu.
Danz Suchamda : Halah,...sunat dari yahudi...tidak makan daging  babi dari yahudi...membersihkan diri dengan air sebelum sembahyang juga dari yahudi.... bahkan cara sholatnya aja ...coba lihat (video ini cara sembahyang yahudi). Lha trus piye jal kok bisa anti yahudi semua diklaim asli made in arab??
Pantes sikapnya pada semua hal jadi seperti pohon lupa pada akarnya.
Lalu untuk menutupi klaimnya lalu edit2 video...eh ketahuan! hahaha :v
Kalau bener mengapa harus curang??
Paham? 
https://www.facebook.com/suchamda/videos/858521300985534/
Tio Nugroho : Termasuk niqab & cadar juga adzan. Mirip2 kok. Percaya serumpun dari Ibrahim tapi nggak mau sama. Semua nabi2 juga Yahudi kan. Aku juga bingung dibuatnya.
Danz Suchamda : Kalau soal tata cara dan sejarahnya memang berhubungan itu tidak masalah. Tetapi manakala intisari nya dibolak-balik, itu sungguh masalah. Sungguh masalah besar manakala definisi kebenarn dibolak-balik.
Bayangkan saja bagaimana sifat Tuhan yang Maha Luas disempitkan jadi sosok personal. Apa yang Maha Terbuka menjadi ruang tertutup dikunci. Sikap2 altruisme dikatakan bagai babi, sementara egoisme dipuja-puja sebagai prestasi. Lalu kedustaan, hasutan, kecurangan, pengkhianatan, dekadensi moral (atas nama penegakkan akhlak) merebak dimana-mana mendapat pembenaran. Ini bukan lagi persoalan sepele, tetapi penghinaan Nama Tuhan. Dan justru yg seperti ini --oleh masyarakatnya-- seringkali dimaafkan sementara kalau berhalanya disentil justru reaksinya sungguh hebat (diluar batas kewarasan).
Rahayu!
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=0aHWASyMjwg
Ini kalau mau jelas bacaan textnya dilampirkan :
https://www.youtube.com/watch?v=YCIqv03NQ6k



PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...