Rabu, 11 Juli 2018

Senja kenangan



 Susi mengayun-ayunkan kakinya yang bebas di bawah meja kayu rumahnya   Tangan kirinya memegang sebuah buku dan tangan kanannya sibuk mengambil satu per satu manisan cerme hadiah dari kakanya  yang baru pulang dari Singapura. 
Satu jam Susi sendirian menghabiskan waktu. Menunggui suaminya yang entah lagi ngapain ke kebun mungkin survei kecil-kecilan padahal mereka sedang berlibur bulan madu tetapi berakhir dengan bekerja mendadak tanpa dibayar begini. Setengah hatinya jengkel, tetapi setengah yang lain bersyukur karena setelah kemarin sibuk membantu orang tuanya di rumah akhirnya ada waktu untuk menikmati suasana pegunungan yang menghadirkan segarnya angin, hijau pohon-pohon yang mulai bersemi.
“Buuk!”
Bunyi benda berdebam menginterupsi aktivitasnya. Ia berpaling, memeriksa benda seberat apa yang menyebabkan polusi pendengaran di tempat setenang ini.
“Kayak maling aja!” Susi, bergumam mengetahui Ary suaminya, menjatuhkan satu bendel naskah di samping perempuan itu.
Ary tersenyum lebar hampir terkekeh. Istrinya selalu bisa membuat suasana hatinya menghangat hanya karena kalimat ajaib yang ia keluarkan.
“Kamu terlalu serius, jadi perlu diganggu sedikit.” Ujarnya menahan tawa.
Susi hanya mesem lalu menggeser duduknya untuk memberi ruang pada Ary.
“Oh ya, ini?” Susi memungut bendelan naskah yang dilemparkan Ary tadi.
“Udah selesai kubaca,”
Susi melirik, hampir tidak percaya. Suaminya memang suka membaca buku. Walau kebanyakan adalah buku non fiksi atau yang berhubungan dengan tanaman. Bukan novel seperti hobinya, apalagi naskahnya yang seperti ini.
“Aku bisa bikin review-nya kalau kamu nggak percaya?”
Susi hanya manggut-manggut. Ada rasa puas mendengar suaminya membaca buku ini. walau sebenarnya tidak perlu mendesaknya untuk menamatkannya.
“Jadi, gimana?” tanya Susi minta pendapat.
Ary menoleh. Bertanya “apanya” lewat ekspresi wajahnya.
“Ceritanyalah! itu novel yang akhirnya kuselesaikan. Jadi, gimme your opinion, hubby?” tanya Susi lagi agak manja. Bahkan tangannya sudah melingkar di lengan Ary. Bergelanyut manja tak sungkan-sungkan. Sesuatu yang jarang terjadi kecuali Susi sedang merajuk. Mirip anak-anak.
“Suka. Bagus. Jalan ceritanya bisa dipahami. Konfliknya pas. Sayangnya, endingnya terlalu … yah, aku nggak terlalu suka” jawab Ary nyaris tanpa emosi.
Susi yang mendengar itu sebenarnya agak lega kecuali satu hal. Nggak suka? Subjektif banget Ary bilangnya. Padahal dia kira, laki-laki itu akan suka?
Why?” tanyanya ingin tahu.
Ary terkekeh. Ia agak malu mengatakannya. Karena pasti Susi akan habis-habisan menertawakan jawabannya. Yah, tapi ia bukan tipe orang yang bisa mencari analogi yang tepat untuk mengganti jawaban. Lebih tepatnya, ia tak pandai berdalih. Tak seperti istrinya.
“Karena nggak ada yang mirip aku karakter cowoknya di situ,” ujarnya akhirnya.
Susi terdiam beberapa detik. Perlu waktu untuk mencerna maksud dari kalimat Ary. Sampai akhirnya tawanya pecah. Menganggap alasan Ary adalah sesuatu yang absurd dan menggelikan.
“Ah, sesuai dugaan. Aku tahu kamu bakal ketawa.” Ucap Ary pasrah.
Susi masih berusaha menahan tawanya meski itu pekerjaan yang sia-sia. Ia merasa kadang-kadang Ary itu pintar main srimulat. Atau memang dia terlalu polos sampai-sampai Susi tidak akan kehilangan humor jika berada di samping Ary.
“Sori-sori, aduh, aduh, perutku sakit. Ahahaha. Ya ampun. Kamu lucu banget, sih?”
“Kuanggap itu pujian, deh.” Kata Ary sambil mengunyah cerme. Manisan di sampingnya lebih enak daripada pujian Susi, pikirnya.
“Yah, novel ini bukan tentang kita, sih. Makanya kamu nggak ada,” Susi menjelaskan.
Beberapa detik mereka dalam hening yang menenteramkan. Menyelami pikiran masing-masing. Mencipta kenangan manis dan mengudap manisan memang komposisi yang pas.
“Mas … ”
“Hm?”
Susi dan Ary sama-sama menoleh. Membaca pikiran masing-masing dengan hanya saling menatap. Menunggu siapa yang akan lebih dulu berujar. Pernyataan Susi. Atau pertanyaan Ary untuk Susi.
Beberapa detik telah berakhir, dan di antara mereka tidak ada yang berkata lebih dulu. Hanya bahasa isyarat dan gerak yang Susi berikan. Ia meraih tangan suaminya. Membuka telapak tangannya dan mengamatinya beberapa saat. Tangan yang besar dan kokoh. Walau tidak dengan tubuh suaminya yang tergolong ramping. Atau jika harus Susi katakan, kurus untuk ukuran laki-laki yang telah menikah.
“Inget waktu pertama kali kamu main ke rumah?” tanya Susi.
“Yang kapan?” Ary tidak lupa kapan dia pertama kali datang ke rumah Susi untuk memintanyas pada ayahnya. Tetapi, laki-laki itu hanya ingin tahu ke mana Susi akan membawa percakapan ini.
“Yang sore-sore, waktu itu hujan. Jadi kamu pamitnya agak molor. Sampai nunggu hujannya reda. Masa nggak inget?” Susi memberikan petunjuk.
“Oh, kenapa emang?”
“Kamu bawa Coklat. Tapi bukan buat aku. Mana pas hari valentine lagi. Padahal tangan udah siap menerima. Huh!” kata Susi sambil mencubit-cubit telapak tangan suaminya. Gemas sekali melihatnya. Tangan itulah yang membuat dirinya malu setengah mati. Walau dia tahu Ary melakukannya dengan alasan yang tepat. Salah satu bentuk penjagaan. Kelewat menyebalkan sayangnya. Bohong jika Susi bilang ia tidak tersinggung
“Oo, Cokelat itu? Ya kan buat valentine, kamunya enga ada.” Ary membela diri.
Susi manyun. Alasan suaminya selalu basi. Meskipun senyum malu-malu tiba-tiba terbit di ujung bibirnya. Perasaan lega kembali memenuhi dadanya. Ia tak henti bertasbih. Ia memang harus selalu mengungkap syukur.
“Tapi kan udah aku ganti, aku bawain bunga Aster, kan? Bunga hidup lagi!” Ary mengingatkan.
Susi mengerlingkan darinya. Mengingat nasib tiga pot bunga malang itu tak terselamatkan ia pelihara membuat ia setengah dongkol dan merasa bersalah.
“Gara-gara bunga itu, aku trauma pelihara bunga, tauk! Kamu tahu sendiri aku nggak punya bakat berurusan sama tanaman kecuali udah dipetik. Jadi nggak lagilah kasih hadiah bunga hidup dalam pot gitu. Mending kamu sendiri aja yang urus!”
Ary mendelik, baru tahu informasi ini. Wah, ia sudah mengira itu akan terjadi.  Susi memang tidak cocok berurusan dengan tanaman. Tapi akhirnya ia terkekeh juga.
“Kok ketawa, sih? Lagi sedih juga, karena bunganya mati semua!”
“Hehe, nggak. Cuma aku udah ngira kalau tangan kamu nggak cocok sama tanaman.” Ucap Ary tanpa dosa. Kini Susi yang mendelik.
“Setidaknya, beberapa bulan lalu, kamu udah belajar. I appreciate the efforts.”Ary mencoba meluaskan hati Susi Menyemangatinya yang mau belajar mengenal tanaman.
Kepala Susi beberapa kali mengangguk, mengganti jawaban terima kasih. Setidaknya Ary telaten mengajarinya. Sehingga tanaman tidak mati dengan cepat walau Ary lama keluar kota untuk urusan kerjaan.
“Mas ….”
“Apalagi?”
Susi ingin mengucapkan sesuatu, tetapi urung. Mulutnya yang sedikit terbuka kembali menutup, “Nggak ada. Hehehe.”
“Setengah kalimat lagi ngomongnya. Kamu kebiasaan, deh!” Ary komplain
Geming kembali mengisi ruang di antara mereka. Walau menyisakan tanya, Ary berusaha menahan diri. Setidaknya bukan sekarang waktu yang tepat. Sebab di depan mata mereka, senja akan terbenam.
Senja. Bagian semesta setelah hujan yang Susi suka. Walau perempuan itu tidak pernah bercerita menyukai keduanya. Tetapi Ary adalah pengamat ulung. Atau mungkin dia sudah menjadi stalker istrinya sejak kali pertama membaca namanya.
                 Susi suciyanti
Perempuan yang membuatnya terpesona sejak mengeja namanya saat senja kala.

Tidak ada komentar:

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...