Rabu, 25 Juli 2018

Iman dan nur iman


Orang-Orang sering meributkan dan menjadi sensitif kalau sudah berbicara sampai ke dalam hal keimanan.
Saya tidak keberatan kalau seseorang memeluk erat imannya. Hanya saja, saya ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu pengertian yg lebih dalam tentang iman, yaitu Iman (huruf besar).
Konstruk dua macam keimanan ini, saya ambil dari pelajaran tassawuf Islamiah.
Iman jenis pertama adalah percaya adalah sebuah hasil buah pikiran atas suatu kalimat-kalimat tertentu yg tidak kita ketahui, tapi kita paksakan utk diterima sebagai 'pasti benar'. Inilah yg saya sebut sebagai iman (huruf kecil), dan memang kecil (sempit) karena hanya sebatas kesimpulan2 pikiran yg dipaksa-paksakan utk diterima tanpa dipahami. Senyatanya ia ragu. Oleh karena itu, seumur hidupnya digunakan utk membongkar kitab sucinya utk meyakin2kan dirinya. Bahkan ia merasa perlu utk mengubah keyakinan orang ke dalam kelompoknya, hanya untuk membuktikan bahwa dirinya sudah cukup mempercayai. Ini jenis iman yg rapuh, Karena perlu kompensasi-kompensasi yg muncul dalam bentuk fundamentalisme.
Sedangkan Iman (hrf besar) atau sering disebut sebagai Nur Imani, adalah sebuah pengalaman langsung dalam tataran hakikat, dimana seseorang luluh dirinya dan yg tertinggal hanya Wajah-Nya : Cahaya di atas cahaya.
Kedua macam jenis iman tersebut, kalau diperumpamakan sebagai berikut :
Dua orang bertemu di sebuah padang gurun di bawah terik matahari. Satu adalah seorang Kalifah dan yang seorang lagi orang buta semenjak lahir.
Sang Kafilah di atas untanya berkata : "Aku melihat cahaya. Dunia ini penuh cahaya."
Sang buta menjawab : "Benar! Benar! aku ingin menjadi orang yg melihat Cahaya seperti kamu....oh, dunia ini penuh cahaya.........dunia pernuh cahaya.....!"
Selanjutnya si buta kembali ke perkampungan orang-orang butanya, lalu berteriak-triak mewartakan tentang cahaya. Dan seluruh penduduk buta itu berseru-seru lantang, "Cahaya, cahaya !". Tapi tak ada satupun yg pernah melihat, apalagi memahaminya.
Sampai suatu ketika, kawanan orang buta itu melakukan perjalanan di siang hari dan tersesat di perbukitan. Bertemulah ia dengan seorang pertapa yg sedang duduk disana. Pertapa itu berkata, "Disini terang, mengapa kalian membawa lentera mati?"
Kontan kawanan itu berteriak, "Kamu kafir! kafir! lentera ini Cahaya, cahaya ...cahaya.....!" Dan kawanan itu berjalan lebih lanjut ke dalam hutan. Tiba-tiba seseorang diantara mereka jatuh tersandung oleh sebuah batu besar, "Aduhh!!Seketika itu juga, teman2nya yg lain heran dan berpikir keras mengapa. Maklum mereka kan memang buta jadi tidak bisa melihat adanya batu. Dari pada malu tidak bisa menjawab karena telah sesumbar selama ini, maka mengaranglah cerita yg menurut pikirannya "logis" . Toh yg dikasih tahu juga sama butanya ama dirinya, sehingga yakin gak bakalan berani protes, maka bertitahlah dirinya, "Itu karena ketiadaan cahaya dihatimu maka menyebabkan kamu jatuh". (Padahal jelas mereka jatuh karena buta sehingga tidak melihat batu di siang hari bolong).
Itulah asal-muasal dari segala ngawurisme di kampung itu.
Sadarlah bahwa kita adalah orang-orang buta itu. Kita belum pernah secara langsung melihat cahaya itu. Oleh karena itu janganlah sombong. Karena kesombongan rohani adalah salah satu dosa besar dimata Sang Maha Cahaya.
Lebih baik kita gunakan waktu kita untuk saling membantu, saling menyembuhkan, agar satu persatu dari kita orang buta ini mulai melek matanya dan melihat cahaya itu secara nyata.-
 Mungkin ada yg sedikit bingung membaca uraian di atas. Apa perbedaan antara iman yg dlm agama dan yg  jelaskan di sini?....
 Jawabannya :
Kalau iman menurut agama semestinya anda sudah tahu bahwa pada dasarnya harus menyembah idol yg disediakan, untuk menjadi anak “baik”....”good boys” and “good girls:... patuh menuruti perintah harus begini begitu....tidak boleh tanya-tanya....bertanya tanda tak beriman....apalagi meragukan...itu adalah "pengaruh iblis". Bahkan kalau perlu ...sikap demikan mendapat hukuman. Bukankah demikian yang selama ini terjadi di lingkungan kita?
Tetapi apa yang saya pahami tentang Iman (saya bedakan dengan huruf besar) ...menurut penyelidikan tentang makna kitab-kitab yg sebenarnya...adalah suatu sikap batin yang muncul dari suatu realisasi understanding dan wisdom....suatu Clarity yg muncul karena 'kewadahan' melalui suatu proses laku yaitu pengalaman langsung dari membaca Kitab Kehidupan*. Jadi disini justru setiap penyelidikan dan pengarungan pengalaman selalu dianjurkan dengan didorong... Skeptisisme yang sehat atau pertanyaan kritis justru dirangsang ditumbuhkan.... dan selalu dianjurkan untuk tanyakanlah....pertanyakanlah....bertanyalah.....selidikilah....ujilah... buktikanlah sendiri.... Disitulah bedanya. Karena seringkali yang dianggap “baik” tidak lain hanyalah kebaikan semu yang digunakan untuk kepentingan kelompok semata (dengan mengorbankan keutuhan dan pihak lain).
Keharmonisan semesta justru kacau dan manusia saling menjahati satu sama lainnya atas nama “kebaikan” bahkan atas nama “Tuhan”. Sedangkan Iman (dalam huruf besar) Nur iman adalah sesuatu yang Real. Utuh tanpa pemisah-misahan. Natural. Spontan. Tentu saja yang semacam ini tidak mungkin muncul dari sekedar telan mentah-mentah suatu hapalan dengan modal kekeras-kepalaan dan mendungukan diri.
Secara diagramatik dapat digambarkan begini. Iman baru ada manakala sudah tumbuh wadah baru *disebut lahir baru , atau the animal mulai memiliiki Soul (Ruach HaKadosh) ....yg mana artinya menjadi Manusia *The Son of Man. Dan kelahiran baru itu adalah melalui proses penderitaan / perjuangan / laku / practice dalam kehidupan sehari-hari.Oleh karena itulah maka seorang guru akan mendorong muridnya untuk BERPROSES....bukan sekedar hapal dan telan bulat-bulat doktrin dengan kekeraskepalaan. Melainkan DITEMPA melalui AIR dan API melalui lipatan-lipatan taraf kejiwaannya. Setelah munculnya wadah baru itulah baru dikatakan seseorang memiliki Iman. Atau dengan kata lain WTR (Will To Receive / Keinginan Menerima) nya telah berubah menjadi WTB (Will To Bestow / Keinginan untuk Memberi). Yang perlu dilakukan seorang Gembala adalah menumbuhkan DESIRE untuk PROGRESS / mengalami pengalaman-pengalaman (karena dari penempaan itulah maka wadah baru terbentuk akibat proses 'reaksi kimiawi' dengan Cahaya yang Mengubah datang dari atas), BUKANnya menghambat atau mematikan jiwa orang demi kepatuhan semu yang akhirnya menjadi kerdil bagaikan tunas tanaman yg tumbuh ditutupi pot terbalik hanya dengan 1 lobang di atas.
Iman yang sejati tidak mungkin tumbuh bila manusia hidup secara mekanis bagai robot yang segala-galanya diatur dalam rumusan. Dengan demikian maka manusia tidak berkembang. Lihatlah dunia binatang,.......mereka hanya bisa dididik dengan hadiah dan hukuman (reward and punishment). Mereka bisa saja patuh dan penurut, tetapi tidak pernah berkembang selama ribuan tahun. Keledai tetap saja harus dicambuk untuk berjalan. Kucing tetap saja mencuri kalau tidak diawasi tuannya.
Manusia jelas berbeda. Manusia memiliki BUDHI. Itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Melalui BUDHI inilah maka manusia bisa diberi pengertian dan dikembangkan kesadarannya. Maka janganlah sekali-kali mendidik seorang manusia dengan pendidikan ala cara mendidik binatang. Ia mungkin terpaksa patuh, tapi rasa sakit di dalam hatinya dapat menjadikan ia jahat. Oleh karena itu, dalam mendidik seorang anak manusia, haruslah sekedar memberi tuntunan dan PENGERTIAN. Tugas orang yang lebih dewasa adalah memberitahukan segala sesuatu manfaat-resiko, baik-buruk, dan alasan-alasan mengapa suatu perbuatan disebut benar atau salah. Sekedar MEMBERITAHUKAN / MEMBIMBING tapi dalam pelaksanaannya adalah terserah dari si murid sendiri. Tugas sang pengajar, pembimbing atau orang tua adalah memperhatikan dan menjaganya agar jangan sampai terjatuh ke dalam bahaya yg merugikan dirinya dan orang lain. Inilah yg dimaksud pengawalan bukan pembelengguan. Karena setiap orang tidak sama. Ada yang lamban ada yang cepat. Ada yang penurut tetapi ada juga yg pembangkang. Kadang-kadang murid yg nakal itu justru cerdas dan --melalui proses berliku-- pada akhirnya mampu melakukan lompatan-lompatan melebihi kemampuan gurunya. Semakin keras bola dibanting ke bawah, semakin tinggi dia mumbul ke atas. Mengapa sekedar memberitahukan dan menjelaskan segala sesuatunya dan bukan mengekang? Karena yang terpenting dalam diri seseorang adalah perkembangan jiwanya. Buat apa patuh seperti kerbau dicucuk hidungnya tapi jiwanya kerdil, walau umurnya sudah tua tapi mental intelektualnya tetap kekanak-kanakan? Melalui pengalaman langsung, pengujian, pengecekan dan penyelidikan realitas, maka jiwa seseorang menjadi matang. Karena disitu bukan faktor manusia lagi yg mendidik, tapi Tuhan secara LANGSUNG-lah yang membina dia melalui rentang hidupnya. Pengalaman-pengalaman “try and error” itulah yang memproses faktor-faktor batinnya menjadi matang, pertimbangan-pertimbangannya menjadi realistis dan mampu mengambil good-judgment berdasarkan realitas yg dinamis, relatif dan selalu berubah cepat ini. Pengertian “The Annointed” atau “Yang Terurapi” atau “Yang Terminyaki” itu juga dalam ranah penjelasan hal ini. Dimana bagai buah kelapa (atau buah Zaitun), dimana sabutnya harus dibuang terlebih dahulu. Batok kerasnya harus dipecahkan. Dagingnya diparut. Lalu diperas-peras. Dicampur air kemudian dipanaskan dengan api. Barulah keluar minyaknya. Kita pun sebagai manusia harus melalui suatu proses penggemblengan dan pemurnian barulah terjadi suatu peningkatan kualitas batin. Siapa yang menggembleng? Tiada lain tiada bukan adalah tangan-tangan Tuhan sendiri melalui realitas yang terjabar. Dan tentu penggemblengan dan proses kawah candradimuka itu artinya melalui tangan-tangan orang-orang yang tidak menyenangkan dirimu, menyanjung-nyanjung untuk menjatuhkanmu, musuh-musuhmu, dsb. Disitulah tangan Tuhan sendiri yang menempa kita untuk mampu melihat bahwa semua itu adalah karyaNya untuk mendewasakan jiwamu. Memiliki keyakinan menjalani semua aral melintang itulah yang disebut Iman (huruf besar). Bukan dengan cara memamer-mamerkan diri ke hadapan orang lain bahwa dirimu memiliki ‘iman’. Jelas itu suatu tanda bahwa kamu tidak percaya bahwa Tuhan maha mengetahui isi hatimu maka butuh pengakuan orang lain. Dengan kata lain, bila kamu ingin diakui sebagai beriman dihadapan sesamamu manusia, maka upah iman itu mintalah kepada manusia itu, karena bukan Tuhan yang akan mengupahmu!
 Terus pertnyaan:, apakah di wadah baru itu sudah tidak memiliki ego? Lalu apkh hubunganya sm penyelamatan?
Nah,...kalau pertanyaan ini sulit dijawabnya karena kita keterbatasan bahasa. Bagi orang yang belum dekat dengan realisasi atau minmal berlatih, maka impossible bisa memahami hal ini. Akibatnya akan debat kusir soal ego.
Begini saja............ Bila anda (kita semua) masih tebal egonya, ...maka melihat seorang Tzaddik pun akan melihat dia ber-ego. Bahkan kalau anda jadi muridnya, anda akan melihat dia sangat egoistis. Mengapa? Karena dia sedang berkorban untuk membedah operasi ego anda hidup-hidup tanpa obat bius. Anda harus melihat satu persatu "organ-organ" anda "diremas-remas, dipotong, dikeluarkan, dicuci dan dimasukkan kembali lalu dijahit dengan jarum yang tumpul".
Lalu, hubungannya dengan penyelamatan? Jelas! seperti dikatakan "Imanmu Yang Menyelamatkanmu" (Lukas 17:19)  Bila anda melalui PROSES penempaan itu hingga terangkat ke atas artinya anda menumbuhkan Iman. Dan Iman itulah yang yang menjadi WADAH BARU atau membentuk level Ruach dalam kehidupan anda. Maka dikatakan Imanmulah yang menyelamatkanmu (dari egoisme Under World).
Makanya kalau orang Jawa yang kuno dan kolot itu biasanya menasihati, "Wis mending setelan pabrik wae. Jangan diowah-owah lagi. Itu jadi yang paling awet, gak rewel, gak abis2in duit. Harganya juga gak jatuh kalau dijual lagi". Maaf, perumpamaan saja. :)
Yang kita mengerti kan cuman konsepnya saja. Konsep bertentangan tapi nama sama tidak ribut ...tapi ketika konsep sama tapi nama beda kok ribut? Aneh manusia itu. Itulah bukti bahwa kalian memberhalakan nama. Sama sama segalanya cuman NAMA....bukankah kita sudah diajar bahwa YHVH itu disebutnya sang Nama (HaShem alias The Name)? ..sementara kalau dijabarkan artinya "I shall be what I shall be" .....so....if He wants to be named Jesus....wants to be named Shiva, even if He wants to be called She, dsb....itu adalah hak Dia bukan hak kita manusia.... "Gue mau jadi apa Gue!" (lo kagak usah ribut) .....jadi kalian udah mendapat jatah revelasi nama masing2 dalam tiap budaya tiap bangsa kok ribut?...hehe..... Ribut itulah yg harus digugat, akar dari ILL-minded (batin sakit) itulah yg harus dipermasalahkan, bukan berkutat di isu nama yg sekedar label belaka.
..... kalau ribut hanya karena nama, itu tandanya tidak mengenal Tuhan. Omong kosong mengklaim satu-satunya pihak yang paling kenal Tuhan sementara pihak lain diveto tidak kenal. Lha wong di satu sisi promosi bahwa tuhannya untuk semua bangsa, maha kasih, maha ada, maha segalanya....tapi kok pilih-pilih dan sempit... Itulah inkonsistensi di taraf yg paling GROSS. Bila ada pemuka agama yang promosi bahwa pemahamannya SATU-SATUNYA yg tidak ada kontradiksi sedikitpun sementara 4 jarinya menuduh ke 4 agama lain full kontradiksi maka ketahuilah bahwa ia hanyalah tukang jual obat yg besar suaranya! Itu artinya sudah menipu dan memperalat umatnya sendiri yg dibuat menjadi dungu tersistematis lalu mudah dipermanfaatkan melalui akal-akalan Neuro Linguistic Programming (NLP) atau semacam hipnosis. Dan superimposisi konsep palsu seperti itu sungguh fatal akan menghambat pertumbuhan Iman yang sejati. Bagaimana mungkin orang menyimak realitas dan bertumbuh jiwanya dalam Kebenaran apabila pondasi pandangan terhadap kehidupannya adalah kepalsuan, ketidakbenaran, fitnah kepada liyan, penyimpangan, propaganda kelompok? Menghalalkan kekejian, kekerasan, hasutan, tuduhan, pemutarbalikkan, dusta, ingkar janji, dan segala macam jenis sikap lacur lainnya (tidak teguh setia pada prinsip kebenaran) ...apakah itu masih dapat disebut sebagai ajaran Tuhan??? Bagai menabur benih alang-alang bermimpi hendak menuai Padi!!
Memang kepalsuan itu mudah dibuat, rasanya nikmat dan menyenangkan hati, sementara bertemu muka dengan realitas itu terasa pahit dan menyakitkan. Tapi Iman sejati hanya mungkin muncul dan tumbuh dari proses mengalahkan diri (self-sacrifice, pengorbanan diri, mengalami derita, tempaan dari Tuhan semesta alam). Itulah proses memurnikan emas dari batu-batuan dan kekotoran-kekotoran mineral lain yang menyertainya.
Tiba-tiba ada yang nyelimur bukannya kalau masih anak-anak diajarkan aturan agama secara tertib dan disiplin utk membentuk karakter anak itu?
Tugas orang tua untuk mendidik dan membimbing tumbuh kembang seorang anak, tidak hanya secara fisik tetapi juga perkembangan mental batinnya.
Akan tetapi perhatikan beberapa hal berikut :
1. Bahan-bahan pendidikan dapat berasal dari berbagai macam sumber dan tidak melulu dari agama saja.
2. Bahan-bahan tersebut harus dipilah-pilah dan dipahami terlebih dahulu oleh orang tuanya. Dengan demikian maka tugas orang tua untuk memahami bahan-bahan tersebut secara utuh dan berdasarkan good-judgment (pertimbangan yg bijak) utk memberikannya kepada sang anak.
Tetapi khususnya dalam pelajaran agama, jangan paksakan anak untuk meyakini sesuatu yang ia belum dapat cerna. Apalagi cara itu dilabeli sebagai "iman" maka akan merusak pengertian sang anak tentang iman itu sendiri.
Kebanyakan anak2 baru sampai tahap pengenalan dan hapalan, tetapi belum bertumbuh Imannya. Oleh karena itu tugas orang tuanya untuk menumbuhkembangkannya melalui penjelasan, pengertian, memahami hubungan sebab-akibatnya, mengembangkan empati kepada liyan, melihat realitas hal-hal yg dibahas pada alam sekitarnya, dsb. Biarlah si anak bereksperimen tetapi orang tua harus menjaganya agar sampai terjadi benturan yg membahayakn atau mencelakai dirinya maupun mahluk lain. Biarlah ia merasa sakitnya jatuh, dan panasnya api...dengan demikian ia memiliki bekal penilaian yg realistis terhadap bahaya-bahaya di sekitarnya. Itu yg menjadikan dia bijak (melihat) bukan sekedar konseptual hapalan tapi tidak memahami apa yang dihapalkannya.
Melalui benturan, sakit, jatuh, gagal, kecewa...ia akan memahami bagaimana dirinya dalam hubungannya dengan alam sekitar dan tentu dengan Tuhannya. Dengan diberikannya ruang gerak menyimak realias maka yang akan tumbuh bukan sekedar WTR-nya (Will to Receive / keinginan utk menerimanya) melainkan juga WTB (Will to Bestow / keinginan utk memberinya). Hukum  aturan memang perlu dinyatakan..tapi lebih sebagai sebuah pemberitahuan bukan alat menyakiti atau membelenggu. Dengan demikian maka terjadi proses dimana wadah lama (WTR) membatasi diri untuk tidak semata memuaskan keinginan dirinya. Melainkan mampu mengendalikan diri (menderita) demi rasa sosialnya kepada yg lain. Inilah kunci yang akan menghancurkan wadah lama dan melahirkan wadah baru. Wada lama hancur atas keiginan pribadinya sendiri yang ingin menjadi wadah yang mampu memberi. Dengan demikian, kehendak Tuhan sudah menjadi kehendak pribadinya. Itulah yg dimaksud menjadi "citra"-Nya.
Berbeda dengan orang yg dibelenggu aturan / hukum / disiplin yg kaku,...selama-lamanya ia hanya belajar sebagai obyek penerima, tetapi tidak pernah menjadi subyek dalam hidup ini. Dengan demikian mental pengemis dan penuntutnyalah yg akan berkembang, bukan mental abundance (berkelimpahan) untuk mampu memberi (karena ia merasa sebagai Subyek). Yang mana meskipun merasa sebagai Subyek tetapi hubungan langsungnya dengan Tuhan artinya memberi ruang buat Tuhan untuk membimbingnya secara langsung. Disinilah KUNCI dimana 'wadah'-nya akan bertumbuh menjadi besar karena terus mendapat kucuran "The Light that Reform" (Supernal Sustenance from Above) pemeliharaan Illahi dari atas.
Seiring dengan pertumbuhan pengertiannya yang realistis, maka bertumbuhlah pula Imannya, yang adalah buah-buah terang yang bersinar keluar manakala dirinya menyala dengan minyak yang penuh.
Perhatikan melalui pengajaran imaji visual. Bayangkan bila pelita itu tidak berisi minyak yg dituangkanNya dari atas, mungkinkah ia bercahaya? Bayangkan bila wadah itu cacat, retak atau kekecilan atau penuh dengan kotoran sehingga walau terisi sedikit minyak tapi tak mampu menyala? Perhatikan juga bahwa wadah yg lama adalah wadah WTR, otomatis bukanlah suatu pelita, melainkan sebagi wadah yg menghisap (selalu meminta, menuntut untuk dirinya sendiri). Manakala Tuhan sudah mengubahkannya melalui proses penempaan menjadi wadah baru, barulah ia dapat dikatakan menjadi wadah baru (lahir baru) yg adalah pelita ini. Cahayanya itulah yang disebut bukti Iman. Ia mampu untuk bekerja memberi manfaat / kontribusi menghasilkan karya dengan penuh kecintaan (passion) sekalipun tanpa imbalan dari manusia, karena Iman-nya mengetahui bahwa pengupah adalah Tuhan sendiri.

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...