Sabtu, 14 Juli 2018

HARI MINGGU ANAK RANTAU



Semenjak mendapat gelar ‘anak rantau’, weekend menjadi waktu yang sangat membingungkan. Apalagi buat para BMI yang jauh dari keluarga.  Ada juga yang punya banyak rencana untuk berjelajah ke tempat-tempat yang mungkin asing bagi mereka. sedangkan saya, banyak hal yang mungkin bisa saya lakukan untuk menatap weekend dengan ceria salah satunya kumpul sesama BMI Brunei . 
            Sebenernya banyak hal yang bisa dilakukan buat mengisi waktu weekend. Dulu banget, ada salah satu hobi yang ‘agak gimana gitu’ sebagai pengisi waktu libur, Yaitu berburu seminar. Entah kenapa seminar jadi bagian penting pengisi waktu libur, bisa jadi semangat ala anak kos atau memang tema yang bagus tapi mungkin lebih pada gimana caranya weekend ini gue punya kegiatan sambil berharap snack dengan bonus makan siang, haha. . . Sebenernya kegiatan berburu seminar (apalagi gratis) menjadi rekomendasi yang baik buat kalian pemegang gelar anak rantau untuk mengisi waktu libur kalian. Kalo mencari $ rupiah sudah bisa jadi pegangan kalian minimal kalian harus percaya adanya sebuah manfaat dari apa yang kalian lakukan. Terhindar dari kuatnya grafitasi pergaulan bebas, selain dapat sarapan gratis atau kalo beruntung kalian bisa dapat relasi (yang mungkin bisa jadi jodoh).
            Dan beberapa waktu lalu, ada sebuah seminar dengan tajuk ramah-tamah sesama komunitas ARC. Sebuah fenomena yang mendapat banyak perhatian oleh banyak kalangan termasuk panitia. Sebenarnya udah lama sekali saya menghadiri acara seminar. Sepertinya tema kebersamaan yang membuat kaki saya melangkah ke sumber acara. 3 pakar yang dianggap memenuhi kriteria di hadirkan. Satu dari pihak pendiri satu dari lembaga angota, dan lainnya merupakan seorang budayawan. 
            Kemudahan masyarakat indonesia dalam mengakses internet di perkirakan menjadi alasan berkembangnya komunitas  apalagi perkembangan teknologi elektronik seperti gadget mendukung kemudahan tersebut. Gadget dengan berbagai ukuran dan harga bertebaran di pasar, semua masyarakat dari usia muda sampai tua bisa dengan mudah menggunakannya. Apalagi setiap aspek dalam kehidupan kita mulai memanfaatkan gadget sebagai alat untuk mempermudah kegiatan sehari-hari. Sekarang coba kalian lihat di lingkup kecil kehidupan anda, dari mulai keluarga, lingkungan RT, sekolah, tempat kerja, sampai public space. Coba kalian perhatikan siapa orang-orang yang tidak memiliki handphone tipe android, dari berbagai tipe. Bahkan di beberapa orang, mereka memiliki lebih dari satu handphone yang mungkin tipe dan merk nya berbeda. 
Kemudahan itulah yang kata deputi kominfo salah satu narasumber menganggap bahwa masyarakat indonesia belum siap dalam menghadapi cepatnya arus informasi yang berkembang belakangan ini. setiap orang bebas mencari, mendapatkan bahkan membuat informasi dengan atau tanpa klarifikasi. Beberapa aplikasi yang populer juga membantu berkembang pesatnya informasi dan juga komunikasi kepada siapapun di dunia. Apalagi ketika kita berbicara tentang kebebasan berpendapat sebagai buah dari demokrasi. Perasaan memiliki hak untuk berbicara, berkomentar dan berpendapat terhadap segala permasalahan juga menyebarkannya di dunia maya tanpa berfikir efek dari ungkapan kebebasan berpendapat itu yang di nilai sebagai salah satu aspek ketidaksiapan masyarakat indonesia.
Nah perkembangan komunitas ini kadang di modusi oleh oknum nakal memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Terdapat banyak sekali situs yang mengatas namakan media memberikan informasi-informasi yang terkadang tidak bisa di pertanggung jawaban. 
Persoalan tentang ini sendiri memang sudah menjadi perhatian tersendiri di semua kalangan. Munculnya beberapa forum yang mengatas namakan organisasi komunitas adalah sebuah respon masyarakat dalam bersosialisasi terjadi karena banyaknya permintaan tentang banyaknya pemantau dg minat yang sesuai dengan apa yang kita sebut dengan sebuah kebersamaan. Keadilan dalam pikiran 
Apresiasi khusus buat semua kegiatan tentang ARC dan  Keberadaan internet yang membuat arus informasi semakin cepat harus benar-benar kita sikapi dengan baik, penggunaan yang benar akan menciptakan kebermanfaatan. Internet memang memudahkan, tapi jangan dijadikan sebagai arus utama. Karena banyak sekali sumber informasi yang bisa kita dapat dari manapun. Termasuk dalam ketika kita mengikuti seminar-seminar, mendengarkan langsung dari para pakar. Mungkin teman-teman tidak bisa fokus ketika ceramah menjadi metode yang digunakan oleh pemateri di setiap seminar. Tapi percayalah ada beberapa hal yang membuat kalian bisa fokus. Moderator mungkin salah satunya J
Jadi, kemana kalian menghabiskan waktu weekend kalian para anak rantau? ARC. 

SEKIAN SEMOGA BERMANFAAT

Rabu, 11 Juli 2018

Senja kenangan



 Susi mengayun-ayunkan kakinya yang bebas di bawah meja kayu rumahnya   Tangan kirinya memegang sebuah buku dan tangan kanannya sibuk mengambil satu per satu manisan cerme hadiah dari kakanya  yang baru pulang dari Singapura. 
Satu jam Susi sendirian menghabiskan waktu. Menunggui suaminya yang entah lagi ngapain ke kebun mungkin survei kecil-kecilan padahal mereka sedang berlibur bulan madu tetapi berakhir dengan bekerja mendadak tanpa dibayar begini. Setengah hatinya jengkel, tetapi setengah yang lain bersyukur karena setelah kemarin sibuk membantu orang tuanya di rumah akhirnya ada waktu untuk menikmati suasana pegunungan yang menghadirkan segarnya angin, hijau pohon-pohon yang mulai bersemi.
“Buuk!”
Bunyi benda berdebam menginterupsi aktivitasnya. Ia berpaling, memeriksa benda seberat apa yang menyebabkan polusi pendengaran di tempat setenang ini.
“Kayak maling aja!” Susi, bergumam mengetahui Ary suaminya, menjatuhkan satu bendel naskah di samping perempuan itu.
Ary tersenyum lebar hampir terkekeh. Istrinya selalu bisa membuat suasana hatinya menghangat hanya karena kalimat ajaib yang ia keluarkan.
“Kamu terlalu serius, jadi perlu diganggu sedikit.” Ujarnya menahan tawa.
Susi hanya mesem lalu menggeser duduknya untuk memberi ruang pada Ary.
“Oh ya, ini?” Susi memungut bendelan naskah yang dilemparkan Ary tadi.
“Udah selesai kubaca,”
Susi melirik, hampir tidak percaya. Suaminya memang suka membaca buku. Walau kebanyakan adalah buku non fiksi atau yang berhubungan dengan tanaman. Bukan novel seperti hobinya, apalagi naskahnya yang seperti ini.
“Aku bisa bikin review-nya kalau kamu nggak percaya?”
Susi hanya manggut-manggut. Ada rasa puas mendengar suaminya membaca buku ini. walau sebenarnya tidak perlu mendesaknya untuk menamatkannya.
“Jadi, gimana?” tanya Susi minta pendapat.
Ary menoleh. Bertanya “apanya” lewat ekspresi wajahnya.
“Ceritanyalah! itu novel yang akhirnya kuselesaikan. Jadi, gimme your opinion, hubby?” tanya Susi lagi agak manja. Bahkan tangannya sudah melingkar di lengan Ary. Bergelanyut manja tak sungkan-sungkan. Sesuatu yang jarang terjadi kecuali Susi sedang merajuk. Mirip anak-anak.
“Suka. Bagus. Jalan ceritanya bisa dipahami. Konfliknya pas. Sayangnya, endingnya terlalu … yah, aku nggak terlalu suka” jawab Ary nyaris tanpa emosi.
Susi yang mendengar itu sebenarnya agak lega kecuali satu hal. Nggak suka? Subjektif banget Ary bilangnya. Padahal dia kira, laki-laki itu akan suka?
Why?” tanyanya ingin tahu.
Ary terkekeh. Ia agak malu mengatakannya. Karena pasti Susi akan habis-habisan menertawakan jawabannya. Yah, tapi ia bukan tipe orang yang bisa mencari analogi yang tepat untuk mengganti jawaban. Lebih tepatnya, ia tak pandai berdalih. Tak seperti istrinya.
“Karena nggak ada yang mirip aku karakter cowoknya di situ,” ujarnya akhirnya.
Susi terdiam beberapa detik. Perlu waktu untuk mencerna maksud dari kalimat Ary. Sampai akhirnya tawanya pecah. Menganggap alasan Ary adalah sesuatu yang absurd dan menggelikan.
“Ah, sesuai dugaan. Aku tahu kamu bakal ketawa.” Ucap Ary pasrah.
Susi masih berusaha menahan tawanya meski itu pekerjaan yang sia-sia. Ia merasa kadang-kadang Ary itu pintar main srimulat. Atau memang dia terlalu polos sampai-sampai Susi tidak akan kehilangan humor jika berada di samping Ary.
“Sori-sori, aduh, aduh, perutku sakit. Ahahaha. Ya ampun. Kamu lucu banget, sih?”
“Kuanggap itu pujian, deh.” Kata Ary sambil mengunyah cerme. Manisan di sampingnya lebih enak daripada pujian Susi, pikirnya.
“Yah, novel ini bukan tentang kita, sih. Makanya kamu nggak ada,” Susi menjelaskan.
Beberapa detik mereka dalam hening yang menenteramkan. Menyelami pikiran masing-masing. Mencipta kenangan manis dan mengudap manisan memang komposisi yang pas.
“Mas … ”
“Hm?”
Susi dan Ary sama-sama menoleh. Membaca pikiran masing-masing dengan hanya saling menatap. Menunggu siapa yang akan lebih dulu berujar. Pernyataan Susi. Atau pertanyaan Ary untuk Susi.
Beberapa detik telah berakhir, dan di antara mereka tidak ada yang berkata lebih dulu. Hanya bahasa isyarat dan gerak yang Susi berikan. Ia meraih tangan suaminya. Membuka telapak tangannya dan mengamatinya beberapa saat. Tangan yang besar dan kokoh. Walau tidak dengan tubuh suaminya yang tergolong ramping. Atau jika harus Susi katakan, kurus untuk ukuran laki-laki yang telah menikah.
“Inget waktu pertama kali kamu main ke rumah?” tanya Susi.
“Yang kapan?” Ary tidak lupa kapan dia pertama kali datang ke rumah Susi untuk memintanyas pada ayahnya. Tetapi, laki-laki itu hanya ingin tahu ke mana Susi akan membawa percakapan ini.
“Yang sore-sore, waktu itu hujan. Jadi kamu pamitnya agak molor. Sampai nunggu hujannya reda. Masa nggak inget?” Susi memberikan petunjuk.
“Oh, kenapa emang?”
“Kamu bawa Coklat. Tapi bukan buat aku. Mana pas hari valentine lagi. Padahal tangan udah siap menerima. Huh!” kata Susi sambil mencubit-cubit telapak tangan suaminya. Gemas sekali melihatnya. Tangan itulah yang membuat dirinya malu setengah mati. Walau dia tahu Ary melakukannya dengan alasan yang tepat. Salah satu bentuk penjagaan. Kelewat menyebalkan sayangnya. Bohong jika Susi bilang ia tidak tersinggung
“Oo, Cokelat itu? Ya kan buat valentine, kamunya enga ada.” Ary membela diri.
Susi manyun. Alasan suaminya selalu basi. Meskipun senyum malu-malu tiba-tiba terbit di ujung bibirnya. Perasaan lega kembali memenuhi dadanya. Ia tak henti bertasbih. Ia memang harus selalu mengungkap syukur.
“Tapi kan udah aku ganti, aku bawain bunga Aster, kan? Bunga hidup lagi!” Ary mengingatkan.
Susi mengerlingkan darinya. Mengingat nasib tiga pot bunga malang itu tak terselamatkan ia pelihara membuat ia setengah dongkol dan merasa bersalah.
“Gara-gara bunga itu, aku trauma pelihara bunga, tauk! Kamu tahu sendiri aku nggak punya bakat berurusan sama tanaman kecuali udah dipetik. Jadi nggak lagilah kasih hadiah bunga hidup dalam pot gitu. Mending kamu sendiri aja yang urus!”
Ary mendelik, baru tahu informasi ini. Wah, ia sudah mengira itu akan terjadi.  Susi memang tidak cocok berurusan dengan tanaman. Tapi akhirnya ia terkekeh juga.
“Kok ketawa, sih? Lagi sedih juga, karena bunganya mati semua!”
“Hehe, nggak. Cuma aku udah ngira kalau tangan kamu nggak cocok sama tanaman.” Ucap Ary tanpa dosa. Kini Susi yang mendelik.
“Setidaknya, beberapa bulan lalu, kamu udah belajar. I appreciate the efforts.”Ary mencoba meluaskan hati Susi Menyemangatinya yang mau belajar mengenal tanaman.
Kepala Susi beberapa kali mengangguk, mengganti jawaban terima kasih. Setidaknya Ary telaten mengajarinya. Sehingga tanaman tidak mati dengan cepat walau Ary lama keluar kota untuk urusan kerjaan.
“Mas ….”
“Apalagi?”
Susi ingin mengucapkan sesuatu, tetapi urung. Mulutnya yang sedikit terbuka kembali menutup, “Nggak ada. Hehehe.”
“Setengah kalimat lagi ngomongnya. Kamu kebiasaan, deh!” Ary komplain
Geming kembali mengisi ruang di antara mereka. Walau menyisakan tanya, Ary berusaha menahan diri. Setidaknya bukan sekarang waktu yang tepat. Sebab di depan mata mereka, senja akan terbenam.
Senja. Bagian semesta setelah hujan yang Susi suka. Walau perempuan itu tidak pernah bercerita menyukai keduanya. Tetapi Ary adalah pengamat ulung. Atau mungkin dia sudah menjadi stalker istrinya sejak kali pertama membaca namanya.
                 Susi suciyanti
Perempuan yang membuatnya terpesona sejak mengeja namanya saat senja kala.

Jwes

Kesamaan kita dengan Jew adalah bahwa Jati Diri kita hendak dihapuskan. Tapi Jew memang 'keras kepala' tidak mau membuang Jati Dirinya semenjak 2000 tahun yang lalu, walau ratusan upaya genocide (pembantaian massal) telah dilakukan.
Karena mereka memberi contoh pertama di dunia ini (mungkin sebagai pilot-project Tuhan), maka itulah mengapa dikatakan mereka sebagai pemegang KESULUNGAN.
Maka belajarlah dari kasus percontohan ini!

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...