Sabtu, 26 Mei 2018

MENGENAL SUKU TERASING DI PEDALAMAN PULAU HALMAHERA


Bila mendengar kata “ TOGUTIL ”, maka bayangan yang muncul dalam pikiran semua orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera. Tapi mungkin lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi muda ini, misalnya orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dsb, nama suku Togutil mungkin baru kali ini didengarnya. Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya.
Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu.
Suku Togutil adalah suku asli yang terasing di negerinya sendiri. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Walaupun sebagian penduduk sudah makmur, tapi  masih banyaknya saudara kita yang hidup terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti orang-orang Suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau Halmahera”. Walaupun mereka masih primitif karena pola hidup secara nomaden tanpa merobah dan merusak alam, namun keberadaan mereka seperti itu telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua dalam hal melestarikan hutan. Seakan-akan mereka berpesan; janganlah sekali-kali merusak alam.
Pada zaman Pleistochen pulau Halmahera masih menyatu dengan pulau-pulau kecil lainnya yang ada saat ini, seperti pulau; Morotai, Hiri, Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti, Makian, Kayoa, Bacan, Gebe dan sebagainya. Perubahan alam yang terjadi selama ratusan ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara evolusi telah membentuk pulau-pulau kecil. Halmahera adalah merupakan pulau induk di kawasan ini, dan merupakan dataran tertua, selain pulau Seram di Maluku Tengah.
Secara logis, karena pulau Halmahera adalah pulau induk dan daratan tertua, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan kehidupan dan persebaran “manusia Maluku Utara” juga tentu bermula dari daratan ini. Namun bukan itu yang menjadi bahasan saya dalam tulisan ini. Pembahasan hanya terfokus pada keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku Togutil yang masih tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural yang disebabkan karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan lingkungan manusia lainnya. Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga hutan rimba, sungai-sungai dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera menjadi rumah mereka.
Disadari atau tidak, sebagian orang bisa menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia Maluku Utara yang sudah modern dan maju seperti sekarang ini dahulunya adalah juga seperti “orang Togutil” ini.
Bila kita bijak, maka hal ini tidak lantas begitu saja langsung dibantah, karena jika kita mempelajari “Ilmu Anthropologi” maka pasti kita memahami bahwa setiap bangsa atau suku mana saja di muka bumi ini dalam perjalanannya pasti mengalami tahap-tahap perkembangan yang demikian. Misalnya bangsa Kaukasoid (orang Eropa) yang lebih dahulu maju dan telah menjadi manusia modern seperti sekarang ini, dahulunya juga adalah suku primitif (Vicking) yang kehidupannya masih tergantung dengan pemberian alam (Nomad) seperti orang Tugutil ini.
Kembali kepada pembicaraan kita tentang “Suku Togutil”… Catatan ilmiah tentang suku ini, pertama kali dikemukakan tahun 1929 yang berbentuk sebuah artikel pendek yang terdapat dalam buku; “De Ternate Archipel” Serie Q,
No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
Saat ini banyak keterangan-keterangan dari berbagai pihak dan masyarakat tentang orang-orang suku Togutil ini sangat berbeda dan simpang siur antara satu dengan yang lainnya. Semua itu benar, karena mereka tahu dan melihat dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda sehingga deskripsi yang lahir tentang suku Togutil ini pun berbeda pula.
Di pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di tengah seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman Kao, di pedalaman Wasilei dan agak ke selatan juga terdapat beberapa komunitas mereka di pedalaman Maba dan Buli. Setiap komunitas (kelompok) suku primitif ini berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila bertemu.
Namun demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok orang-orang Tugutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil” saja. Yang membedakan sebutan terhadap mereka adalah kawasan yang menjadi tempat pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo, Togutil Kao, Togutil Dodaga, Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.
Usaha pemukiman terhadap masyarakat terasing merupakan program utama pemerintah dalam usaha membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok tanam (bertani). Menetap dengan pengharapan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohani. Usaha ini dimaksudkan agar mereka dapat secepatnya mencapai taraf hidup yang sejajar dengan masyarakat Indonesia umumnya.
Atas pemikiran inilah, Pemerintah daerah di Maluku Utara pada tahun 1971 pernah membangun pemukiman (relokasi) untuk orang-orang suku Togutil Dodaga di kecamatan Wasilei Halmahera Tengah. Yang dimaksud dengan orang-orang Togutil Dodaga adalah sekelompok orang suku Togutil yang berdiam di sekitar hutan dekat Dodaga. Penambahan kata Dodaga di belakang nama golongan etnis ini adalah agar dengan mudah dapat membedakannya dengan orang-orang suku Togutil lain yang terdapat di kecamatan Wasilei, maupun di kecamatan-kecamatan lain di pedalaman pulau Halmahera.
Beberapa saat setelah suku Togutil Dodaga ini bermukim di tempat relokasi yang dibangun pemerintah, mereka kembali lagi ke hutan dan hidup lagi menurut cara yang lama. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal, sedangkan usaha-usaha serupa berhasil di tempat lain, seperti suku Naulu di pulau Seram, orang Dayak Bukit di Kalimantan, suku Sakai di Sumatera dsb.
Masyarakat di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim hujan tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap tidak terbuat dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke hutan. Alasan lain mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.

Selasa, 22 Mei 2018

Tradisi mudik Indonesia

  

Fenomena mudik yang menjadi rutinitas tahunan di Indonesia. Umat islam setelah melakukan puasa sebulan penuh didukung dengan libur hari raya yang cukup lama, mudik telah menjadi kesadaran bersama (collective conciuness) bagi muslim indonesia, khususnya yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung,  dan kota-kota besar lainnya.
Dorongan psikologis untuk melakukan perjalanan menuju kampung halaman ini begitu besarnya, tak heran berita-berita di semua stasiun televisi selalu meliput perkembangan jalur arus mudik dan arus balik, karena begitu massifnya aktivitas ini. walaupun harus mengendarai sepeda motor dengan muatan berlebih, walaupun harus berlama - lama naik kendaraan umum, segala hambatan itu tidak menjadi penghalang bagi perantau untuk menuju tanah kelahirannya.
tujuan utama setiap kita melakukan mudik tidak lain adalah untuk re-unity (penyatuan kembali) keluarga batih yang ada di rantau. silaturahmi, melepas kangen, sekaligus saling memaafkan segala kesalahan dalam relasi selama setahun, itulah berbagai kegiatan yang dituju selama di kampung.
relasi agama dan tradisi
dari meriahnya lebaran dan mudik tadi, kita dapat mengupas relasi antar agama dan juga tradisi. tentu kita telah menyadari bahwa fenomena mudik, bahkan lebaran itu sendiri tak lepas dari tradisi keindonesiaan. Ridwan Saidi budayawan yang juga sejarawan, mengatakan bahwa lebaran (Idul Fitri) adalah tradisi yang sudah ada sejak zaman pra-Islam di kepulauan nusantra. lebih jauh ia memaparkan bahwa ucapan minal aidin wal faizin mohon maaf lahir dan batin’adalah usaha pengislaman tradisi awal. karena kalau kita tinjau dari riwayat rasul, sesungguhnya ucapan ketika idul fitri adalah taqobaollohu minna wa minkum syiamana wa syiamakum dari sisi kita dapat ,elihat begitu jelas kalau lebaran, (dengan ketupat, saling maaf-maafan, dan juga mudik) bukanlah tradisi yang bersumber dari nash-nash agama, namun tradisi nenek moyang kita yang coba dikemas secara Islami oleh para penyebar islam kala itu. Namun, tidak lah jadi masalah, karena memang Islam menoleransi adat-tradisi asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
untuk menambah wawasan kita tentang agama dan tradisi sebagai salah satu fenomena khas muslim indonesia tentunya tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. karena sejatinya kegiatan itu memiliki maksud yang baik. namun menurut saya perlu ada beberapa hal yang harus kita garis bawahi dan koreksi, yaitu :
1. utamakan para tetangga kita dalam bermaaf-maafan.
sebagaimana kita ketahui, kita kerap berlebaran di kampung, dan saling bermaaf-maafan dengan orang-orang yang jarang berinteraksi dengan kita. padahal kalau kita mau jujur, tentunya kesalah-kesalahan kita lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita yaitu ; tetangga kita sendiri.
2. jangan sampai membatalkan puasa
kita sering melihat, para ‘pemudik’ dengan alasan para musafir dengan mudahnya membatalkan puasa. padahal kalau kita tilik hukum puasa adalah wajib, jadi kalau memang fisik kita tidak kuat, lebih baik mudiknya ketika pasca idul fitri. apalgi, sampai meningalkan solat juga, kalau sudah begini kita ragukan misi mudiknya, bukan lagi misi ‘rahmat’ . jadi harus kita niatkan kembali untuk melaksanakan hal-hal yang wajib demi sempurnanya kesilaman kita. apalagi teror ‘kecelakaan’ berkendara sangat tinggi, jangan sampai maut menjemput saat kita meninggalkan kewajiban. nauzubillah
3. jangan berlebihan dan boros
sudah jadi rahasia umum, kalau menjelang idul fitri toko emas ramai diserbu ibu-ibu, suuzon
saya ini adalah suatu bukti kalau idul fitri, kita ingin menampilkan kemegahan dan kemewahan. dengan membawa harta benda yang berlebihan, baju yang mentereng jelas-jelas telah menyimpang jauh dari tujuan mudik yang kita bicarakan di awal. sangat disayangkan, kalau mudik hanya dimaknai sebagai pertunjukan ‘kesuksesan’ kita selama di rantau. karena, kita sama-sama tahu orang yang paling mulia adalah yang paling taqwa, sebagaimana firman Allah ” Inna akromakum indallohi atqokum”.
Kalau kita telaah lagi, begitu maraknya mudik adalah bukti ketimpangan ekonomi di desa dan kota. kota begitu mempesona dan maemiliki daya tarik bag para penduduk desa untuk ramai-ramai mencari peruntungan di metropolitan . Oleh karena itu, berilah semangat untuk orang-orang di desa (kampung kita) yang masih tertinggal secara pengetahuan maupun ekonomi untuk bangkit dalam membangun desa kita tercinta. jangan hanya dimaknai untuk membuktikan ‘eksistensi’ diri semata. Akhirnya, semoga mudik akan mambawa dampak kemajuan bagi bangsa kita, bukan hanya rutinitas tahunan yang hampa, bahkan desturktif. semoga bermanfaat akhir kata Bakul getuk ucapkan selamat menjalankan ibadah puasa dan trimakasih
Wasalam.....

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...