Jumat, 22 Februari 2019

Suka duka menjadi BMI


Sebagai buruh migran indonesia yang berada di luar negeri, saya ingin mengulas kisah suka duka bekerja di luar negeri. Kalau ditanya, banyak sukanya atau dukanya, saya akan jawab banyak sukanya.
Istilah Buruh Migran Indonesia (BMI) lebih dulu dikenal dengan nama TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Pak Presiden Jokowi mengubahnya menjadi istilah BMI.
BMI tersebar di seluruh dunia. Mulai dari tetangga terdekat kita Brunei darussalam, Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan, China, Jepang, Middle East (hampir di semua negara membentang dari Irak hingga Maroko), Nigeria, Eropa, dan Amerika. Profesinya pun bermacam-macam, ada yang menjadi pembantu rumah tangga, pekerja professional di oil company , FMCG company ,
trader export-import , dll.
Mejadi BMI bukan perkara mudah. Selalu ada suka duka selama tinggal di luar negeri. Diantaranya:
A. Jauh dari keluarga. Bagi yang sudah memiliki anak dan istri, tinggal jauh dari mereka tentu saja sebuah siksaan kuat  menahan rindu. Kalau tinggal di kota, kita masih bisa berkomunikasi via Skype, WhatsApp, Line, atau Voip, dengan keluarga. Namun kalau lokasi kerjanya di tengah lautan, atau di tengah padang pasir, tentu saja harus menunggu sekian hari supaya bisa kembali ke daerah yang terjangkau sinyal kemudian menghubungi mereka. Dan inilah yang sering jadi alasan utama orang selingkuh. Jauh dari keluarga, kebutuhan biologis tidak tersalurkan, akhirnya selingkuh. Saya akan membahasnya di tulisan yang lain mengenai hal ini.
B. Kesulitan komunikasi dengan rekan kerja atau penduduk setempat. Perbedaan bahasa tentu saja memberikan peluang terjadinya kesalahan atau miskomunikasi. Masalah sepele namun karena kita tidak bisa menjelaskannya secara gamblang, maka seringkali membuat hubungan antar rekan kerja menjadi buruk.
C. Ngiler masakan Indonesia. Tentu saja ini yang sulit terobati. Kadang kita kangen pecel, gudeg, rendang, soto namun tidak tersedia. Sebenarnya hal ini kita bisa akali dengan cara membawa bumbu instant dari Indonesia ketika pulang kampong.
Tinggal di luar negeri memberikan para BMI peluang untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik dan tangguh.
1. Peluang belajar Bahasa tertentu seperti di Taiwan belajar Bahasa Mandarin, yang di Jepang belajar Bahasa Jepang, dan sebagainya. Selain bahasa setempat sangat dianjurkan untuk belajar bahasa internasional. Mengapa perlu? Begitu kita tinggal di luar negeri biasanya cakrawala akan sebuah peluang kerja di tingkat internasional akan terbuka lebar dan mampu melihat peluang-peluang kerja apa saja yang ada di sekitarnya.
2. Peluang usaha. Dengan menjadi BMI otak kita akan berputar bagaimana supaya uang yang kita peroleh ini utuh, dan kalau bisa bertambah. Buat apa kerja jauh-jauh kalau tidak ada nilai lebih yang bisa kita berikan untuk keluarga di rumah. Sebagai contoh, teman-teman saya di sini ada yang membuka usaha jualan gorengan, jualan bakso, jualan rokok, jualan tempe, dsb,  ada juga yang jualan produk fashion loh...
3. Peluang mencari jodoh. Tidak sedikit kenalan saya yang akhirnya menemukan jodohnya di tanah rantau. Kebanyakan mereka saling jatuh cinta sesama BMI
4. Peluang menjalin relasi. Peluang yang  ini masih jarang gali. Saya memiliki banyak teman dari Maroko, Egypt, Serbia, India, Saudi Arabia, dll. Saya masih sering mengontak mereka minimal sebulan sekali, via Facebook, WhatsApp, atau email, just say
Hello dan tanya kabar keluarga mereka. Ada satu dua orang yang menjawab dan rajin menjaga kontak, namun ada juga yang tidak menjawab. Saya anggap ini adalah sebuah investasi untuk sebuah bisnis online dan sekaligu memperkenalkan produk indonesia kepada mereka. Just make a friend . Because I believe, Allah will give us rizqi if we keep silaturahimi. Iya kan Brow....

Mau... menjadi  BMI agar kehidupan sosial ekonomi kamu lebih baik lagi?
Jangan lupa pahami kenali permasalahan BMI yang sangat kompleks. Tak hanya terjadi di negara penempatan, banyak sumber masalah justru berasal dari dalam negeri. Dalam aspek perlindungan, peran negara atau pemerintah adalah pihak yang mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negaranya, tak terkecuali buruh migran. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan jika praktik masih sangat jauh dari harapan ideal.
Selama ini, kurangnya koordinasi yang baik antar kementerian/lembaga pemerintah adalah salah satu sebab perlindungan komprehensif terhadap buruh migran sulit diwujudkan. Dugaan sementara ialah ego sektoral dan terjadinya overlapping kewenangan. Situasi tersebut mengakibatkan praktik saling lempar tanggung jawab antar kementerian/lembaga pada saat buruh migran tertimpa masalah. Praktik tersebut merupakan sebuah kebodohan yang harus segera dihentikan.
Dalam hal kebijakan, tidak sejalannya eksekutif dan legislatif dalam penyusunan sebuah undang-undang tentang buruh migran adalah bukti tidak adanya niat baik dari para pemangku kebijakan untuk memperbaiki tata kelola penempatan dan perlindungan TKI. Kerjasama semua pihak tentu sangat diperlukan agar permasalahan dapat terselesaikan. Setidaknya ada upaya maksimal agar permasalahan buruh migran dapat berkurang.
Selain pemerintah sebagai regulator dan pihak swasta yang selama ini diberikan mandat oleh UU dalam hal penempatan, keberadaan organisasi buruh migran mempunyai peran cukup signifikan dalam aspek perlindungan, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam situasi seperti ini, keberadaan organisasi buruh migran mempunyai andil yang sangat penting. Tak hanya sekedar advokasi yang bersifat kasuistik, tetapi organisasi diharapkan mampu menjadi pengontrol kebijakan pemerintah dalam penempatan dan perlindungan terhadap buruh migran.
Berbagai upaya telah dilakukan organisasi buruh migran, termasuk dengan memaksimalkan media baik
offline maupun online . Upaya tersebut merupakan salah satu bagian penting untuk mewujudkan perlindungan sebagaimana yang diharapkan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, kerjasama antara organisasi Buruh Migran yang berada di dalam dan di luar negeri diperlukan oleh semua pihak.
Organisasi Buruh Migran di dalam negeri harus berkoordinasi dan bersinergi dengan organisasi Buruh Migran di luar negeri agar isu yang diperjuangkan sesuai dengan kondisi buruh migran di negara penempatan. Tanpa adanya kerjasama yang baik, organisasi buruh migran di dalam negeri tidak akan pernah tahu keadaan dan permasalahan yang sebenarnya dialami oleh buruh migran di negara penempatan.
Jika organisasi buruh migran di dalam negeri asyik memainkan isu yang hanya untuk kepentingan tertentu, apalagi untuk kepentingan politik yang menjijikkan, maka perjuangan mengentas kaum buruh migran yang tertindas hanya sebuah fatamorgana. Alih-alih ingin menjadikan buruh migran sebagai kelompok cerdas, hal itu hanya akan ada di dalam angan dan cita-cita tak lebih hanya sebuah jargon semata.
Sebaliknya, organisasi buruh migran di luar negeri, termasuk komunitas-komunitas sosial yang telah dikenal oleh buruh migran dan perwakilan pemerintah di negara penempatan, juga harus menjalin komunikasi dengan organisasi buruh migran di dalam negeri. Tanpa adanya jalinan komunikasi dan jaringan yang baik, organisasi buruh migran di luar negeri tidak akan mampu berbuat apa-apa jika ternyata permasalahan yang dialami buruh migran merupakan bagian dari rangkaian proses di dalam Negeri sekian semoga bermanfaat

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...