Minggu, 02 September 2018

Politisasi Agama

POLITISASI DOGMA-DOGMA DARI TIMUR TENGAH DAN BARAT

Ini tulisan terpanjang dan tergalau saya setelah bertemu Rama Jati juga pemangku adat agama-agama lokal nusantara lainnya.  Monggo dihayat dan disimak secara seksama biar pada mengerti. Untuk mengetahui bagaimana politik agama di Indonesia.

Belum lama ini Din Samsudin dewan pengarah Majelis Ulama Indonesia menyatakan Sunda Wiwitan tidak bisa disebut agama, dengan alasan Sunda Wiwitan tidak ilmiah. Apa yang dimaksud ilmiah dalam pernyataan Din Samsudin? ini jelas kesalahan fatal orang yang tidak cukup kuat memahami academic theory of religion.

Dalam penelusuran saya studi agama di Indonesia dan yang kemudian dipakai oleh negara sebagai rujukan teori agama bukan hasil studi filsafat agama yang kuat. Pun demikian, kebenaran agama di Indonesia bukan kebenaran falsafati atas makhluk yang disebut sebagai agama.

Konstruksi agama di Indonesia tidak lebih sebagai konstruksi politik. Inilah yang saya sering sebut dengan "religionisasi", yakni politik agama dan kebenaran atas agama bukan kebenaran oleh filsafat agama, melainkan kebenaran oleh keinginan politik kelompok dominan, atau yang menurut Daniel Dakhidai disebut sebagai religious discourse atau juga Islamic politicy.

Bangunan konsep agama di Indonesia dimulai dari mendefinisikan apa yang dimaksud dengan agama? Dan pendefinisian atas agama yang pada dasarnya abstrak itu menggunakan pola yang oleh Wilfred Centwell Smith disebut sebagai "Reifikasi" yakni membendakan sesuatu yang bersifat abstrak.

Definisi bermula dari tawaran pemikiran Prof. DR. Mukti Ali yang notabenenya murid Prof. Smith di atas pada tahun 1952, sepulangnya nyantri di Amerika. Menggunakan kategorisasi yang dipakai oleh model studi Emile Durkheim juga Leonard Swedler, Prof. Mukti Ali mengkategori sebuah keyakinan yang disebut agama.

Sayangnya ketegori agama yang dibuat Mukti Ali keluar dari konsep Durkheim maupun Swedler. Jika Swedler mengkategori agama dengan unsur: credo, code, cult dan community, atau Durkheim mengkategori menjadi keyakinan (believe), ritual dan komunitas, sementara Mukti Ali mengkategori dengan "adanya konsep tuhan, wahyu/kitab suci, punya nabi dan punya umat di banyak negara.
Dengan kategori ini, kelompok keyakinan yang tidak dianggap memiliki konsep seperti yang diusulkan Mukti Ali dianggap bukan agama, dengan konsekuensi hak-hak keagamaannya hilang dengan otomatis. Inilah yang saya sebut proyek religionisasi.

Kalau ditelusuri lebih mendalam konstruksi yang dibuat oleh Mukti Ali sebenarnya bias dari model keagamaan Abrahamik Religion (agama-agama Ibrahim/Yahudi, Kristen dan Islam), sehingga di luar rujukan itu tidak dianggap sebagai agama.

Pada tahun 1961 pemerintah secara resmi mengadopsi teori agama ala Mukti Ali dan menjadi patokan menyebut satu keyakinan sebagai agama atau tidak. Rumusan itu awalnya ditolak oleh umat Hindu Bali, Budha dan Konghucu. Sedang agama lokal yang saat itu dikomandoi oleh Mr. Wongsonegoro tetap dicurigai sebagai aliran sesat dan sempalan dari agama induk.

Namun karena kuatnya arus mainstream, terutama Islam yang didukung oleh Kristen, Umat Hindu Bali dan Budha mengalah dan menerima konsep Mukti Ali tentang kategori agama, dan seakan dewa-dewa Hindu sebagai Tuhan, Kitab Tripitaka sebagai kitab suci, sedang Budha Sidharta Gautama seakan Tuhan dan Weda sebagai kitab sucinya. dan seterusnya. Insiden ini terjadi pada 1963.

Di pihak lain karena jumlah penghayat kepercayaan yang diurus oleh Mr. Wongsonegoro terus menggeliat, maka umat Islam terutama semakin blingsatan, sementara musuh bebuyutannya yakni Kristen juga berkepentingan untuk penyebaran misinya. Dialog antar agama pada 1962 deadlock dan hanya semakin menguatkan saling kecurigaan dan merasa saling terancam "feeling threathened" kata Mujiburrahman.

Menguatkan organsasi penghayat, dan insiden pemberontakan serta ketakutan yang besar atas Partai Komunisme yang juga menguat, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres tentang Perpu (pengganti undang-udang) yang kita kenal UU No.1 tenang PNPS tahun 1965. Yang di dalamnya secara resmi menyebutkan 6 agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, serta mengakui agama memberi pengakuan tanpa pemberian fasilitas terhadap Yahudi, Sinto dan Zoroaster. Sementara kepercayaan lokal terus dicurigai dan didiskriminasi justru melalui peraturan pengganti undang-undang.

Tidak lama Soekarno terkudeta oleh Soeharto menurut versi Jhon Rossa dalam bukunya "Dalih Pembunuhan Massal". Di lain pihak Islam dan Kristen saling rebutan proyek penyebaran agama. Maka pada 1967 Kementerian agama menyelenggarakan dialog antar umat beragama, utamanya antara Islam dan Kristen yang kurang lebih mirip anjing dan kucing.

Dalam pidato pembukaan, Presiden Soeharto menyatakan "hendaklah jangan menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama, tetapi kepada mereka yang belum beragama". Nah, berspekulasilah Islam dan Kristen, tentang siapa yang dianggap belum beragama dan ladang penyebaran agama (ladang dakwah dan ladang misionaris).

Maka mata kedua agama besar ini tertuju kepada penganut kepercayaan, karena lagi-lagi merujuk pada definisi kategorial agama yang dibuat oleh Prof. Mukti Ali dan dipakai secara resmi oleh Kementerian Agama, Jaksa Agung dan hampir semua lembaga negara yang mengurusi agama.

Dari sini bisa saya tegaskan bahwa kebenaran agama di Indonesia bukan kebenaran falsafati, melainkan kebenaran maunya "mayoritas". Dengan demikian karena Din Samsudin produk lama atau produk expired dalam studi agama, maka dia mengatakan Sunda Wiwitan tidak ilmiah.

Agama kok ilmiah..? Ilmiah dari Hongkong kaleee cah..

Kita lanjutkan pada konstruksi menjadi agama. Hal penting dalam politik menjadikan satu keyakinan (believe) sebagai agama berawal dari mendefinisikan "apa itu agama?" Agama oleh Prof. Mukti Ali yang kemudian diadopsi oleh negara menjadi definisi resmi agama oleh Kementerian Agama dan oleh sebagian besar dan mungkin 90 % masyarakat Indonesia memakai definisi itu.

Definisi agama berangkat dari kategori, harus punya konsep ketuhanan, dan ketuhanan itu harus mono --- monotheistik, di luar konsep monotheistik tidak diakui. Nah lagi, karena tiga agama ibrahimi (Yahudi, Kristen dan Islam) mengaku sebagai penganut monotheistik tulen, maka tuhannya pun kemudian dipersonifikasi menjadi Tuhan Yang Esa.

Orang-orang NU dan Muhammadiyah serta Tarbiyah Islamiyah kemudian mengotak-atik Sila Pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" menjadi konsep tauhid dan menempelkan pada sila pertama itu surat al-Ikhlas "qulhu wallahu ahad" (katakanlah hai Muhammad Allah itu satu). Agak maksa sih hahahaha..

"Pemerkosaan" Sila Pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam perspektif agama Ibrahimi ini oleh Jeremy Manchic disebut sebagai "Godly nationalism" (nasionalisme berketuhanan), yakni masyarakat nasional yang harus mempercayai tuhan dan tuhannya pun harus sama dengan pemahaman agama-agama resmi negara. Tuhan selain made in 3 agama besar di Indonesia tidak diakui, bahkan menjadi obyek tuhan kutukan.

Oleh karena keyakinan/kepercayaan lokal masih cenderung menganut sistem tuhan yang polytheis, maka serta-merta tidak bisa diakui sebagai agama oleh kelompok dominan yang kemudian menjadi sikap resmi negara soal makhluk yang disebut tuhan. Jadi Tuhan pun di Indonesia sebenarnya adalah tuhan yang "dimakhlukkan" atau yang dikonstruksi oleh kelompok agama dominan, melalui proses pembendaan dan personifikasi yang merupakan varian lain dari "reifikasi". Dan konstruksi tuhannya-pun harus mirip tuhan Timur Tengah. Dalam bahasa Ibnu Arabi disebut illah al-mu'taqad atau al illah allazi fi al 'itiqad, atau al illah al makhluk fi al mu'taqad (Tuhan yang dikonstruksi, Tuhan yang diciptakan dalam konstruksi).

Pada dasarnya bagi masyarakat Nusantara yang punya segala-galanya, alias beda dengan Timur Tengah yang saat itu hanya punya pasir dan bukit-bukit. Orang Nusantara dalam kosmologinya, baik orang Jawa, Melayu, Sunda, Dayak dan Papua sekitarnya selalu memahami pandangan akan dunia yang duel, alam atas dan alam bawah. Konstruksi tentang tuhannya pun cenderung majemuk.

Bagi orang Timur Tengah tidak kenal kosmologi alam model Nusantara, Karena masyarakat yang diaspora dan nomaden, orang Timur Tengah butuh satu simbol pemimpin, yang akhirnya melahirkan konsep Tuhan Yang Satu, sebab kalau tuhan banyak, Para Tuhan akan berantem.

Bagi orang Nusantara memandang alam bawah dan alam atas dengan pandangan yang harmonis. Di hutan ada kekuatan adi kodrati, sehingga mereka memaknai hutan isinya bukan sekedar tempat tinggal dan mencari makan, tetapi menjadi tempat tambatan spiritualitas, pun demikian dengan gunung dan sungai-sungai.

Timur Tengah selain Sungai Eufrat dan Tigris nyaris tidak ada sungai, menyeberang ke Mesir baru ada Sungai Nyl, maka sebenarnya pandangan orang Persia yang punya sungai agak mirip dengan sistem dewa dan ketuhanan orang Nusantara. Masalahnya Nabi Muhammad enggak pernah lihat sungai dan hutan seperti di Indonesia dan di Eufrat dan Tigris, maka konsep monotheisnya menjadi terpersonifikasi. Tuhan dimaknai sebagai Maha Pencemburu "jangan kau duakan aku" (atau jangan kau serikatkan aku). Tuhan dalam Islam itu paling males dipoligami, hukumannya merupakan dosa tak terampunkan dalam Islam jika menduakan tuhan dengan sebutan syirik sifatnya, musyrik orangnya.

Lalu bagaimana konsep tuhan ala Timur Tengah di embededkan ke bumi Nusantara atau ke negara-negara jajahan? jelas melalui bantuan ilmuwan antropologi dan sosiologi agama. Dari sini anda harus kembali mengingat studi EB. Taylor, James Frezer (evolusi agama) dan menyebut agama-agama orang Nusantara dan daerah jajahan lainnya sebagai agama primitive, animisme dan dinamisme, demikian dikuatkan dengan sosiologi agama sejak dari Emile Durkheim, Mircea Elliade, bahwa jiwa sosial adalah jiwa agama.

Nah, cara menjajahkan agama Barat ini mereka menggunakann proyek civilization atau proyek memperadabkan orang-orang primitif, karena merasa agamanya sudah lebih mapan dengan pernak-pernik dogma serta sudah berselingkuh dengan kuasa yang sentral dan sakral. Isu yang dimainkan, kalau ingin menjadi orang beradab jadilah atau ikutlah bersama kami atau masuklah bersama agama kami.

Ini terjadi sebelum tahun 1962, Kristen utamanya Katolik Roma mendalil "extra eclesiam nulla salus" (di luar gereja tidak ada keselamatan). Teori ini direplikasi oleh Islam menjadi "Inna al dina 'indallahi Islam... waman yabtaghi ghaira al Islamadina fala yuqbala minhu, fahua fil akhirati minal khasirin" (sesungguhnya ad diin di sisi Allah adalah Islam, siapa yang memilih ad diin selain Islam, maka tidak diterima ad diinnya itu dan mereka di akherat termasuk orang yang merugi).

Melalui proyek inilah Islamisasi dan Kristenisasi sebagai sesama dogma pasar menjadi masif. Orang-orang Nusantara ditakut-takuti tidak akan selamat jika tetap memeluk agamanya yang oleh Kristen dan Islam dianggap primitif.

Untuk Kristen, terutama Katolik pada tahun 1962 ke sini mengalami pertobatan, tidak lagi menganggap agama lokal sebagai primitif, bahkan Katolik saat ini sangat akomodatif terhadap budaya lokal, Tentu ini salah satunya berkat jasa para orang terpanggil seperti Rudolf Otto, Karl Rahner, Raimundo Panikar, Hans Kung dan lainnya. Sementara Islam masih melanjutkan proyek Islamisasi dengan pola abad kegelapan itu. Namun demikian sebagian Kristen kharismatik, Mormonism dan sebagian aliran Amerika masih melakukan misionarisnya, inilah kenapa antara Islam dan Kristen di Indonesia mirip kayak anjing dan kucing rebutan tulang..........

Oleh:Bekti  Hartawan

Monggo diunjuk.

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...