Rabu, 11 April 2018

KARTINI INDONESIA

   Emansipasi Kartini Sebentar lagi kita akan sampai ke tanggal 21 April 2018, terutama kaum perempuan Indonesia baik mereka yang berada diluar maupun dalam negeri kembali merayakan Hari Kartini. Sebuah pengingat sekaligus penghargaan atas jasa perjuangan Raden Ajeng Kartini untuk memajukan dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang tertindas.
Satu upaya besar yang ia lakukan, bahwa beliau telah menjadikan perempuan saat ini memiliki peranan yang sama dengan kaum pria dalam bidang soial politik, ekonomi dan budaya.
Sekitar  114 tahun  yang lalu wafat RA Kartini sangat beejasa sudah memberi aspirasi merubah posisi nasip perempuan Indonesia?
Boleh kita katakan bahwa belumlah semua dari perempuan Indonesia berkesempatan melanjutkan pendidikan. Masih banyak kaum perempuan terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil masih belum dapat mengakses sekolah. Walau pun pemerintahan Bapak Jokowi sudah bekerja keras untuk menanggulangi dengan meratanya pembangunan diseluruh Negri tapi kemiskinan masih banyak juga, dan harus diakui jika sekarang tak sedikit dari kaum perempuan Indonesia yang mampu menikmati pendidikan hingga jenjang tinggi. Sejumlah dari mereka bahkan mampu menduduki jabatan penting di berbagai sektor pemerintahan. Bukan itu saja profesi yang dulunya hanya menjadi milik lelaki sekarang pun sudah banyak yang di gelutinya.
Namun di tengah gejolak krisis ekonomi global yang belum sepenuhnya berakhir di Indonesia. Mau tidak mau hal tersebut juga membawa dampak negatif ekonomi yang begitu besar. Angka kemiskinan masih tetap tinggi yang di akibatkan oleh krisis beberapa tahun silam berimbas dari pada PHK masih terasa. Daya beli masyarakat pun menurun karena sumber penghasilan rendah.
Bagi perempuan Indonesia khususnya yang tinggal di perkotaan, pemutusan kerja atau PHK baik pada dirinya sendiri ataupun suaminya tentu memberikan pukulan berat bagi kehidupan keluarga. Beban perempuan akhirnyapun semakin bertambah.
Sebagai ibu rumah tangga mereka memiliki peranan penting dalam mengatur perekonomian keluarga. Mengatur setiap transaksi keuangan keluarga dari biaya kebutuhan sehari-hari dan pengeluaran lainnya. Masih ditambah lagi dengan mengurus pekerjaan domestik rumah tangga termasuk mengurus dan mengasuh anak.
Setali tiga uang, hal yang sama pun terjadi di pedesaan. Menyempitnya lahan garapan karena perluasan dan penggusuran lahan yang dilakukan oleh oknum pemilik modal semakin memarginalkan posisi perempuan dalam proses produksi. Selanjutnya kita bisa meraba apa yang terjadi . Perempuan kembali dikondisikan persis seperti di era Kartini dulu. Kembali peranan mereka terbatas hanya dalam lingkup “sumur,kasur dan dapur”.
Situasi inilah yang melatar belakangi perempuan Indonesia bermigrasi ke luar negeri untuk menjadi buruh migran. Namun menjadi seorang BMI sekalipun tidak memberikan jaminan bahwa perempuan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan bebas. Fakta dilapangannya, praktek penindasan dan penghisapan masihlah terus menimpa mereka. Semenjak dari poses pra-keberangkatan, di negara tujuan hingga saat kembali ke tanah air.
Penipuan yang dilakukan oleh calo lokal dengan memberikan informasi palsu dan ala kadarnya hanya merupakan salah satu dari sekian praktek penyelewengan dan pemerasan terselubung yang menimpa buruh migran. Mereka diharuskan membayar biaya perekrutan yang tinggi dan wajib untuk tinggal dipenampungan dengan pra sarana seadanya. Akses komunikasi dengan dunia luar pun diputus.
Di negara tujuan sendiri buruh migran kembali mengalami pemerasan untuk yang kesekian kali. Mereka dibebani biaya penempatan tinggi, diskriminasi rasial hingga pelecehan seksual dan penganiayaan. Perlakuan tak manusiawi itu masih berlanjut hingga saat mereka kembali ke tanah air. Pemerasan terselubung di bandara yang dilakukan oleh oknum petugas Bandara dengan . Melakukan pungutan liar semaunya saja. Ini benar-benar menambah gambar pemahaman kita bahwa pemerintah Indonesia belum sepenuhnya serius memberikan perlindungan kepada warga negara terutama BMI
Buruh migran yang mayoritas perempuan itu banyak dieksploitasi, dijadikan sumber devisa dengan kurangnya perlindungan dan pemenuhan hak sebagai buruh migran yang harus negara jamin sepenuhnya. Hingga detik ini, kami masih menunggu realisasi pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Internasional 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran Dan Keluarganya. Desakan dan argumen dari organisasi akar rumput buruh migran dan organisasi konsen buruh pun masih seeing dianggap sebagai angin lalu. Ini karena pemerintah memakai paradigma bisnis sementara buruh migran sebagai objek komoditi yang bisa diperlakukan layaknya barang jualan.
Bercermin Pada Perjuangan Kartini
Perjuangan Kartini dalam memperjuangkan hak persamaan gender seharusnya bisa dijadikan inspirasi kita semua, terutama buruh migran perempuan sendiri. Untuk terus memacu potensi dirinya meski dengan kondisi pekerjaan yang membatasi ruang gerak kita. Dimanapun kita berada, selalu camkan dalam benak kita bahwa fenomena emansipasi Kartini bukan berarti harus menjadikan kita lupa atas tanggung jawab dan kodrat kita sebagai perempuan sehingga tidak menjadikan emansipasi yang salah arah, kebablasen orang Jawa bilang.
Hak bekerja dan meningkatkan kualitas hidup merupakan hak setiap warga negara. Namun ini bukan berarti membebaskan kita sebagai kaum perempuan untuk berlaku sekehendak hati karena bagaimanapun norma, toleransi dan martabat sebagai perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri haruslah tetap kita jaga.Yakni salah satunya dengan menjaga tingkah laku kita agar senantiasa bercermin pada Rambu-Rambu norma kehidupan yang baik sopan dan santun tentunya
Akhir kata saya mengucapkan Selamat Hari Kartini untuk semuanya!
Hidup Buruh Migran!
Hidup BMI
Trimakasih dan wasalam....

Tidak ada komentar:

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...