Kamis, 05 April 2018

masa kritis pada abad ke-21

Schadenfreude terjadi karena rasa harga diri (self-esteem) yang rendah. Seringkali orang melakukan itu untuk memboosting rasa harga dirinya.
Sayangnya banyak orang2 yg menjadikan itu hanya sebagai jargon pendongkrak self-esteem padahal senyatanya sedang kehausan.
Inilah alasan mengapa orang mengejar kesuksesan, mendewakan uang, tahta, kuasa, wanita. Semua dalam rangka untuk membooster harga-dirinya. Masyarakat yang sakit turut menciptakan mentalitas ini. Senyatanya yang dituhankan adalah materi dan kesuksesan, tapi mana mau mengakui bahwa bukan Tuhan yang sebenarnya mereka muliakan???
Tapi karena ilusi ego yang sangat licik, maka sungguh sulit untuk menyadari kenyataan sederhana seperti ini.
Ddefinisinya: perasaan puas / gembira bila melihat orang lain dalam kesusahan, kondisi yg tidak menguntungkan, atau berada dalam posisi lebih rendah darinya. Kata lain yang hampir mirip adalah Gloating, yaitu : bernyaman dalam kesuksesan dirinya di atas ketidak beruntungan orang lain.  Merasakan diri sebagai 'baik' atau 'pahlawan' sementara kenyataannya banyak orang semakin kesusahan karena 'pertolongan'nya.
Mungkin anda baru pertama kali ini mendengar istilah ini. Tapi hal inilah yang membuat orang baik melakukan kekerasan / kejahatan tanpa disadarinya. Sistim cultural, pendidikan dan pandangan kehidupan yang dangkal (tidak realistis) menyebabkan orang berlomba-lomba menjadi baik secara superficial (kulit permukaan), dan untuk menuju perasaan harga diri (self-esteem) nya tersebut, ia merepresi agresifitasnya yang kemudian muncul secara subliminal dalam tindakan-tindakan “politically correct” atau "religiously correct" yang menikam dan merusak pihak lain.
Ini hanya mungkin terjadi apabila manusia mengalami pendangakalan jiwa sehingga antara apa yang ada dalam kesadarannya (consciousnessnya) berbeda berbeda, terpecah bahkan bertolak-belakang dengan apa yang ada pada bawah sadarnya (sub-consciousness). Peran agama-agama politis dalam proses pendangkalan ini tidak dapat dipungkiri. Hal inilah yang menyebabkan kekerasan demi kekerasan selama abad terakhir ini. Dimana manusia berusaha memperbaiki system kehidupannya melalui budaya, system politis dan sains/teknologi, tetapi selalu hanya sedalam apa yang tampak / kasat mata belaka. Apa yang tidak tampak (tersembunyi di dalam) tetap busuk , agresif dan jahat.
Usaha-usaha menutupi kebusukan, keagresifan dan kejahatan itu dengan bungkusan yang baik dan indah, itulah per definisi adalah motif dari penciptaan Simulacra. Dimana tujuan akhirnya adalah penguasaan penuh dan eksploitasi bagi manusia satu di atas yang lainnya melalui system yang “dipermuliakan” sedemikian rupa untuk dipuja-puja, sehingga yang melanggarnya dianggap secara social maupun politis layak untuk dihakimi dan dihukum. Segala sesuatu yang real di’bunuh’ untuk digantikan dengan jargon-jargon indah atas nama moral/akhlak, ketertiban, keadilan, efisiensi, efektifitas, disiplin, hukum bahkan atas nama Tuhan! Inilah yang menjadi penyebab kanker kehidupan dunia yang mencapai masa kritis pada abad ke-21 ini. Manusia tidak bisa menghindar lagi, atau punah melalui suatu cara yang sangat mengerikan.
Bila kitab-kitab kuno agama menuliskan deskripsi akhir jaman, inilah persoalannya. Hanya saja mereka menyebut kejahatan itu dengan istilah ‘iblis’ atau ‘syaiton’ padahal sebenarnya adalah bawah-sadar manusia yang egois dan semakin membusuk dalam segala kepalsuannya. Tidak heran bila lingkup efeknya meluas dan mendalam ke segala aspek kehidupan. Lihat saja dari persoalan ketimpangan system moneter hingga persoalan LGBT yg meruak akhir-akhir ini. Semua persoalan dan ‘penyakit sosial’ itu bukan muncul tiba-tiba dari langit, tetapi merupakan akibat dari proses pembusukan kesadaran manusia selama ribuan tahun : diluar terlihat baik, tapi jahat di dalamnya;
dari luar tampak mengulurkan pertolongan, tapi menghisap diam-diam;
tangan kanan membelai-belai, tapi tangan kiri menikam dari belakang;
Lidah ular bercabang dua; madu tapi racun.
Inilah yang selama berabad-abad dicoba untuk diutarakan kepada public oleh tokoh-tokoh seperti J.Krishnamurti, Ki Ageng Surya Mataram, dsb. Mereka pada dasarnya menggugat kemajuan peradaban yg dialami manusia : bahwa dibalik apa yang disebut perbaikan / kemajuan sebetulnya secara psikologis kejiwaan manusia tetap biadab, agresif, manipulative, eksploitative, dsb. Tidak lain adalah dikarenakan Schadenfreude / Gloating seperti disinggung diatas : manusia berlomba-lomba berbuat ‘kebaikan’ dengan cara menindas yang lainnya; berebut berbuat ‘pahala’ dengan cara saling menjatuhkan. Karena melalui 'kebaikan' ia mendapat keuntungan status dalam persaingan sosial; tapi bagaimana kalau sistem sosial itu adalah sistem sosial yang korup (manipulatif)?
Oleh karena itu sudah sangat jelas, mengapa agama-agama politis itu begitu menentang kedalaman spiritual, penyelidikan batin dan hal-hal yang berbau meditative. Karena melalui penyibakan hal-hal yang disembunyikan di dalam batin manusia itu akan dapat ditemukan berbagai macam kebusukan yang merupakan akar dari semua ‘kebajikan’ yang menindas umat manusia selama ribuan tahun.
Mengapa bisa demikian?
Tidak lain tidak bukan karena manusia dididik hanya melalui dogma-dogma dan serangkaian permainan antara iming-iming (harapan) dan ancaman (penakut-nakutan). Dalam agama-agama tertentu, neurosis (kecemasan) manusia terhadap kehidupan dan kematian tidaklah diselesaikan, tetapi justru dipakai untuk memperalat dan mengikat umatnya sendiri. Tentu saja neurosis itu tidak ditampakan di permukaan karena tidak menguntungkan secara marketing, tetapi neurosis yang terepresi ke dalam bawah sadar itu menjadi sebuah daya besar yang sungguh jahat merembes keluar melalui ‘kebaikan-kebaikan’ dan segala macam alasan yang politically-correct atau religiously-correct.
Kalau diatas sudah saya katakan bahwa Schadenfreude / Gloating ini adalah merasakan diri sebagai 'baik' atau 'pahlawan' sementara kenyataannya banyak orang semakin kesusahan, sebenarnya inilah esensi dari apa yang disebut NWO (New World Order), yaitu : melalui lengan2 gurita kekuasaannya kaum elite penguasa dunia hendak "mengatur" dunia untuk menuju "ketertiban" versi dirinya dengan menggunakan segala macam perangkat sistem, keorganisasian maupun teknologi sehingga 'mengatur' dan 'mengawasi' setiap langkah gerak-gerik manusia dalam sistem komputerisasi-biometric. Ini namanya adalah pembunuhan hak asasi dan kebebasan manusia.
Perhatikan bahwa Tuhan memberikan ruang gerak yang lapang kepada manusia untuk berproses dan memahami hidup melalui kesalahan-kesalahannya; tetapi rupanya manusia ingin 'playing GOD' dimana tidak memberi ruang kepada sesamanya untuk mengeksplorasi kehidupan menurut panggilan hidupnya sendiri.
Bukankah disini mereka hendak mengikat tangan dan kaki manusia melalui sistem/hukum. Sekalipun dengan technological-tyranny mungkin hasilnya adalah ketertiban secara fisik yg tampak dikulit permukaan, tetapi apakah cara ini akan mendewasakan dan memerdekakan jiwa manusia?
Oleh karena itu saudara……kalau ada yang mengatakan bahwa ini adalah akhir jaman, saya percaya bahwa memang ini adalah akhir dari sebuah jaman. Mudah-mudahan tidak sampai kebablasan bumi ini hancur lebur karena ulah manusia sendiri, tetapi berakhirnya kekerasan di dalam bawah sadarnya. Inilah yang –semenjak dulu – saya artikan sebagai kedatangan Messiah/imam mahdi. Yang mana bukanlah sesuatu yang secara karikatural digambarkan sebagai tokoh hero yang turun dari langit, melainkan turunnya Kesadaran (Awareness) untuk mentransformasi bawah-sadar-yang-jahat itu menjadi baik sejati. Tentu untuk menuju kesana, tidak bisa tidak manusia harus mulai menyelidiki batinnya. Dan itu artinya adalah melalui pengembangan suatu sikap kontemplatif / meditative.
Menurut saya, kedatangan Sang Juru Selamat / Messiah / Imam Mahdi, dsb pada dasarnya adalah suatu harapan manusia akan kedatangan suatu Kesadaran Baru yang mampu mengalahkan kejahatan yang selama ini bekerja menjungkir-balikan dunia secara subversif (tersembunyi) dalam bawah-sadar manusia. Manusia akan menemukan kedatanganNya bila mencari dan melihat ke dalam ruang batinnya sendiri yang terdalam.
Dan apabila setiap insan manusia berhasil menyambutNya di dalam ruang batinnya yang terdalam, maka sebetulnya manusia akan kembali menjadi satu tubuh. Karena Dia ada dimana-mana. Dia adalah akar / pokok anggur itu. Dengan demikian, maka dunia akan menjadi tertib tanpa harus diternakkan oleh suatu sistem monolateral yang tiran. Itulah yang disebut Higher Order (ketertiban luhur) atau New Jerusalem dimana dikatakan oleh Nabi Yesaya dimana singa akan berbaring bersama anak domba dst (ada yg tahu apa arti Jeru-salem. Jerusalem bermakna Wholeness / eksistensi yang utuh. Bukan nama kota fisik di atas bumi ini, tapi " kota" rohaniah yang datang dari "atas" kesadaran).
Rahayu!

Tidak ada komentar:

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...