Sabtu, 03 Maret 2018

PERTANYAAN ANAK NAKAL

Sayang bila tidak dicatat. Dan sayang hilang begitu saja tidak dicatat

Sebagai spiritualis pencari hakikat dari berbagai macam ajaran dan aliran spiritualitas, maka saya rasa ini adalah daftar pertanyaan2 yang umum ditanyakan dan menjadi "soal" yang cukup 'membandel' untuk dapat dijawab tuntas tanpa membingungkan (pros & cons).
1. Mengapa seolah2 Tuhan / spiritualitas menghendaki manusia bisa terbebaskan dari keinginan2 terutama yg berhubungan dengan sex, ambisi, dsb?
Apakah itu faktuil?
Lantas mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan semua impuls natural  itu?
2. Ada atau tiadakah Tuhan?
Mengapa ada spiritualitas Theis dan spiritualitas non-theistic bahkan yg saya istilahkan 'systematic-atheistic' spirituality?
3. Lantas, apakah core dari spirituality?
Ada berapa core? Apakah single core, dual core, quad core atau 7 core (kayak prosesor aje :D  ) ?
------------------------------------------------
Jawaban singkat dari ketiga pertanyaan itu adalah ini :
1.  Itu adalah perspektif ilusi akibat memandang Spiritualitas dari sudut perspektif  dunia bawah sini (unapt-ness of lower-world perspective to truly understand Spiritual World)...dimana segala sesuatunya menjadi binary.
2. Itu adalah pertanyaan ilusi dengan jawaban delusional yang membawa manusia di dunia-bawah ini menjadi neurotik.
3. Berkebalikan dengan ranting dan cabang di dunia-bawah ini yang mana semakin banyak semakin baik, maka 'the-flip-over' di dimensi Spiritual World maka semakin sedikit semakin powerful. Base-nya adalah nothingness (emptiness). Why?
Because ALL is beyond ONE.
Satu adalah tunggulnya tempat cabang dan ranting-ranting bertumbuh.
Intermediary hub single bus architecture of all means penghubung antara Lower-world dengan Upper-world. The Vav ( | )
--------------------------------------------------
Saya tahu, tentu saja jawaban2 singkat diatas membuat pada umumnya pembaca mengerenyitkan dahi (kalau tidak sampai kedip2 merem melek sambil garuk2 gak gatal).
Memang sulit menjelaskan secara tuntas jelas sesuatu yang masih terlampau jauh beyond reach saat ini. Akan tetapi, untuk menghantar pemahaman, saya rasa perlu disampaikan raison-d'etre-nya sebagai pedoman pemahaman global untuk menerangi peta secara keseluruhan. Dan untuk itu, ketiga pertanyaan diatas harus dijawab dalam kesatuan. Begini :
Manusia akan tidak mampu memahami sesuatu yang tak terpahami tanpa meminjam sebuah kosa-kata. Dan kosa-kata itu adalah "Tuhan".
Jadi, sebagai sebuah alat-komunikasional bahasa, tolong jangan dianggap sebagai 'itu' nya. Seperti kata "jeruk" bukanlah jeruknya.
So.....................
Mengatakan adanya Tuhan atau tiadanya Tuhan adalah contextually-relative.
Dan pada akhirnya, manusia harus merambah (exploring) semua medan The Pathless-path itu untuk memahami. Dan ketika telah tembus pemahaman, maka runtuhlah dengan sendirinya pertanyaan musykil itu. Karena antara yang tak terhingga dan ketiadaan lebur jadi satu "thusness".
Jadi, intinya...untuk menciptakan "Manusia" melalui koridor keterpecahan ruang-waktu, maka segala probabilitas harus exhaustive dipahami oleh Anak Manusia, barulah proses itu selesai. Sementara pemahaman-exhaustive terhadap yang tak-terhingga adalah musykil dapat dipahami oleh yang-terbatasi, maka disinilah letak crux persoalannya...yg disebut "hijab" atau "tirai pembatas antara ruangan suci dengan ruangan yang Maha-Suci". Secara sederhananya, kedua ruang itu sebut saja dengan nama "ruangan keterkondisian" (conditioned-dimension) dan "ruangan diluar-keterkondisian  (non-conditional dimension)".
Penalaran sederhana dari penjelasan di atas adalah antara sumber cahaya lampu dan berkas cahayanya. Atau terangnya area yang tampak pada permukaan dinding. Yang otomatis menimbulkan konsekwensi bagian2 bayangan. Nah, bayangan itulah ego!
Secara perumpamaan, maka dapat dianalogikan, bahwa bagian-bagian gelap itulah yang menjadi pembatas lokalisir apa yang telah terterangi (dus, apa yg belum). Otomatis , pembatas itulah yang menjadi pemandu agar seluruh dinding dapat secara sequential diterangi seluruhnya (ingat : keterjatuhan dalam dimensi ruang-waktu).
Dinding itu adalah Realitas kemenduniaan kita, atau realitas-ini (this-ness).
Bayang-bayang (shadow) itu adalah ego, atau dikenal juga dengan nama Setan.
Sumber Cahaya (yang tak terlihat) itu adalah Tuhan.
Berkas sinarnya adalah daya manifestasi-Nya (daya tajjali), atau disebut Nur.
Tekstur dinding pada dasarnya adalah ketidakmerataan intensitas cahaya yg terpantul akibat perbedaan 'permukaan dinding' itu.
Jadi untuk mengenali tekstur dari realitas dinding (kemenduniaan kita) itu maka cahaya yang sampai mengada pada diri kita haruslah mampu 'melihat' bagaimana gerak-gerik ego (tekstur realitas) itu bekerja dalam dinamikanya. Dan hal itu secara praktikal hanya akan terlihat bila ada gejolak keinginan (chanda), kegiuran (piti) dan kehausan (tanha).
Tekstur gerak-gerik keinginan itu baru terlihat bila kita detached atau melihat dari jarak kejauhan. Dengan kata lain, sikap detached itu adalah semacam "screen" untuk memisahkan antara "keakuan" dan "yang melihat keakuan". Itulah mengapa pada tahap-tahap awal latihan spiritual maka detachment (ketidak-melekatan) dipersyaratkan.
Tapi yang jelas, tekstur keinginan itu muncul dari bagian yang gelap untuk menerima pencahayaan. Itulah disebut Will-to-receive (keinginan untuk menerima untuk 'aku' sendiri). Inilah yang harus ditransformasi menjadi ruangan terang. Manakala sudah menjadi terang, maka barulah akan memantulkan cahaya. Simbolisme arketipe bulan. Pencahaya di malam hari. Terang di kegelapan under-world kita ini.
Itulah yang sering dipuja-puji oleh kita manusia di bumi ini sebagai 'orang-orang suci' atau para tzaddik / sadikin. 
Dari sini kita akan bisa melihat bahwa persoalannya BUKANLAH karena nafsu keinginan itu dibenci Tuhan. Atau dengan kata lain, juga BUKANLAH karena nafsu keinginan itu kotor. Karena keinginan itu sendiri adalah berasal dari sang Cahaya itu sendiri. Artinya, tanpa keinginan artinya sama dengan tanpa cahaya. Tanpa keinginan anda tidak akan mendapat Cahaya. Istilahnya : jadi kayu lapuk.  Cuman yg jadi soal harus ditanyakan adalah : keinginan yang macam bagaimana yang bagaimana?? (dan di era ini, sudah terbolak-balik parah) --> https://www.youtube.com/watch?v=oQ9EgCLTQKA
Atau,......mau jadi kayu lapuk yang bercita2 nafsu tanpa batas setelah kehidupan ini??
Uhh, Total Oblivion.
Ingat! notion "kotor" atau "gelap" TERPAKSA SAJA digunakan sebagai pengantar komunikasional untuk memahami mekanisme kesunyataan ini.
Dengan kata lain, maka yang menjadi persoalan bukanlah keinginan itu sendiri, tetapi neuroticism EGO yang menjadikan keinginan itu egoistik (semu). The fear of the darkness.
Jadi, membayangkannya begini saja :
Ada ruang bumi yang semua penghuninya terpengaruh oleh gaya gravitasi. Kalau jatuh sakit. Lompat makin tinggi juga resiko jatuh makin parah / sakit. Orang dibatasi untuk tidak loncat2 sembarangan membahayakan dirinya dan sesamanya.  Itulah ruangan terkondisi. Maka harus belajar memahami nafsu2. Tetapi manakala sudah mampu keluar dari medan gravitasi bumi , itulah sampai pada ruangan tak terkondisi. Anda mau lompat2 jungkir balik tak masalah lagi.
Dengan kata lain, persoalan2 yang menjadi sentral kritik dari ajaran2 spiritual seperti seputar masalah sex, sebetulnya bukanlah sex-nya yang perlu dipermasalahkan. Tetapi SIKAP / MINDSET kegelapan kita dalam memahami sexualitas. Antara 'ada' dan 'tiada' itu pun adalah konsekwensi akibat kegelapan kita sendiri (yang maka harus diproses). Diproses kemana?
Diproses dari gelap menjadi terang agar seluruh permukaan realitas dapat memantulkan cahaya...TANPA perlu menghancurkan dindingnya (misal : realitas sexualitas , keinginan dst itu sendiri). Dus, pertanyaan 1,2,3 terjawab sudah.
Ini adalah UNIFIED understanding of All untuk mengantar All to BEYOND.
.... yang menjadi musibah di dunia kita era ini adalah :
Manakala bulan hendak menjadi sumber cahaya, dan / karena mataharinya ternyata adalah Black Star.
menurut Torah tuhan itu ada.. tp faktanya adalah mereka yg dasar kitabnya torah pun sampai skrng berantem atas nama tuhan..
Ingat dan perhatikan adanya Tuhan menurut Torah teaching itu TIDAK SAMA dengan yg dimaksudkan oleh 2 kubu yg selalu berantem itu. Disitulah masalah ini hendak saya angkat (kalau anda paham TS).
"Ada" nya menurut 2 adiknya itu adalah setara dengan grammar adanya gunung, adanya kursi, meja, dst. Bahkan dijadikan manifes sbg manusia. Jews doesn't fall in that mistake.
Cabang ilmu yg khusus mempelajari status Ada disebut Ontologi, yg merupakan sub dari study Filsafat.
Saya coba berikan gambaran sekilas.
Semisal soal status *ada* nya pak Harto. Orang boleh bertanya pada anda, "pak Harto itu ada atau tiada?". Anda polos menjawab *ada*, dia membantah, "kalau gitu bawalah dia ke hadapanku". Anda tertegun dan berkilah, "Dia tidak ada disini". Nah, tadi mengatakan ada sekarang tiada. Mulai kacau, kan? Dari sini saja sudah bisa disimak bahwa ada 2 status *ada* yg berbeda, *Ada* nya anda berbeda dengan *ada*nya dia. Belum lagi bila ada orang ketiga yg mengatakan, "pak Harto tiada, karena dia telah mati". Nah, disini muncul makna *ada* yg ketiga. Timbul pettanyaan : apakah pernah ada dapat layak disebut ada, atau tiada?
Ingat, ini masih baru pada tataran fisik biasa, belum pada status *ada* pada non-fisik (misal : energi) atau bahkan yg sama sekali non-entity (misal : *ada*nya demokrasi)...dst dst. Itulah maka ada cabang ilmu Ontologi yg mempelajari kerumitan status *ada* sesuatu yg berfluktuasi secara relatif dalam ruang-waktu dan konteks epistemologinya (cabang ilmu filsafat yg mempelajari batasan apa kita tahu dan bagaimana kita menjadi tahu).
Nah,....*ada*nya Tuhan itu diluar ruang-waktu!
Easier said then to be done. Kalau ngakunya paham tetapi senyatanya meributkan Nama yg ada dalam konstrain ruang-waktu??.....rubbish, kan?
Tapi Judaism tidak jatuh pada error itu. Mereka mengatakan bahwa nama Tuhan adalah YHVH...Ehyeh asher Ehyeh..."I SHALL be what I shall BE" (Aku akan mengAda apa yang Kuingin mengAda)..cek : Keluaran 3:14. Itulah Nama yg tak boleh disebut....karena bukan Nama biasa yg bisa/boleh disepadankan dengan nama2 benda.  Status ontologia ADAnya Tuhan jelas tidak sama dengan status kemeng*ada*an nama2 benda2 atau konsep2 duniawilainnya  yg
partikular (bersifat khusus, boleh ditelunjukin ini itu)! Paham?
Inilah mengapa ilmu Ketuhanan disebut Sacred Knowledge. Sacred / sakral bukan karena dipuja2 disakralkan, tetapi karena tidak biasa-biasa alias "set-apart" [from ordinary meaning], perlu dedikasi utk memahami....semua makna yg diambil dari kata Latin "sarcare". Dan makna lain dari 'sarcare' adalah annointed / yang-diurapi. Maknanya itu! Maka disarankan dipanggil dengan kata ganti LORD (Tuan / Tuhan) atau HaShem (sang Nama) kalau hendak diucapkan. Nyebut2 apalagi dlm obrolan informal pakai term "Yahwe" itu tanda orang tidak mengerti, dan..... telah menghujat Tuhan.
Apalagi sebut nama Sakral sambil bakar rumah orang.
Meneriakkan nama "Sang Segalanya" unuk membenci segalanya yang bukan dari egonya. (Ego = setan. Sudah pernah diterangkan).
Cuman satu kata : HEBATTTtT !
Rahayu!

Tidak ada komentar:

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...