Sabtu, 03 Maret 2018

PMI atau BMI

  Selamat siang netis jumpa lagi sama  Bakul getuk. Kali Bakul getuk mencoba mengulas sebutan Buruh Migran Indonesia (BMI) dan Pekerja Migran Indonesia (PMI), menurutmu lebih bermartabat yang mana?"

Pada dasarnya pengertian kata Buruh, Pekerja dan Karyawan menurut KBBI adalah sama, yaitu orang-orang yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya kepada pemberi kerja (pengusaha atau majikan).

Tetapi sampai dengan hari ini untuk masyarakat Indonesia masih menganggap sebutan 'buruh' berkonotasi negatif dan identik sebagai sebutan untuk pekerja rendahan, kasar dan sebagainya. Maka untuk buruh yang bergaji atau bepangkat lebih tinggi, yang cenderung dianggap lebih menggunakan kemampuan otak dibandingkan otot dalam melakukan kerja, masyarakat lebih suka membedakannya dengan menggunakan sebutan "pekerja dan karyawan".

Sedangkan untuk di lingkup dunia Internasional sendiri, sebenarnya yang lebih populer justru sebutan 'buruh', bukan pekerja atau karyawan. Hal ini bisa ditengarai dari nama-nama partai politik. Contohnya saja di Australia ada Partai Buruh (tapi tidak ada Partai Karyawan), demikian juga untuk Organisasi Buruh se-Dunia yang berada dalam naungan PBB, namanya ILO (International Labour Organization) bukan IWO (International Worker Organization).

Menilik sejarah penggunaan kata buruh untuk di Indonesia telah dikenal dan mulai sering digunakan pada masa Orde Lama yaitu pada tahun proklamasi kemerdekaan hingga sekitar tahun 1967-an. Namun ketika pergantian rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru, penggunaan kata buruh mulai berusaha dihilangkan karena dianggap berbau paham ke kiri-kirian dan lebih cenderung bermakna progressive. Sebagai gantinya pemerintahan Orde Baru mulai lebih mempopulerkan kata karyawan dan pekerja. Bahkan Serikat Buruh Indonesia yang berdiri pada masa orde lama, di masa Orde Baru harus ikut berganti nama menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.

Selanjutnya setelah rezim Order Baru digantikan rezim Orde Reformasi, kata 'buruh' mulai muncul dan digunakan kembali seperti halnya kata pekerja dan karyawan. Hal ini bisa ditandai dengan munculnya serikat pekerja yang bernama SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) dan SARBUMUSI (Sarikat Buruh Muslimin Indonesia).

Bahkan dalam Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 pasal 1 ayat 3 istilah 'buruh' pun ada dan disebutkan: "Pekerja/Buruh adalah Setiap Orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain". Dari sini bisa kita simpulkan jika sebutan 'buruh' sudah tidak lagi menjadi istilah yang tabu untuk digunakan baik oleh masyarakat umum maupun pemerintah.

Tentang asal muasal sebutan BMI, bisa jadi sebagaimana lika-liku penggunaan kata 'buruh' di Indonesia dari orde lama ke orde baru kemudian sampai ke orde reformasi yang terus berganti-ganti seiring keinginan dan kenyamanan kolektif masyarakat. Mungkin begitu pulalah munculnya sebutan Buruh Migran Indonesia (BMI), yang dipopulerkan oleh para pekerja migran Indonesia di kawasan Asia, untuk menggantikan sebutan Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tercatat sebagai istilah yang dipopulerkan di jaman Orde Baru.

Bermacam sebutan untuk orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dari TKI, TKW, Nakerwan, PRTA, Sahabat Perantau, BMI, dan lain-lain sampai dengan sebutan terbaru PMI yang mulai digulirkan oleh salah satu media lokal berbahasa Indonesia di Hongkong. Apapun sebutan yang muncul dan berasal dari pihak manapun yang menggulirkannya, baik yang bisa diterima, kurang disukai ataupun ditolak secara kolektif, saya yakin kemunculan sebutan itu sendiri pasti diiringi akan harapan besar pada penggunaan istilah/sebutan baru tersebut agar bisa membawa perbaikan dan kebaikan untuk kepentingan bersama. Meski mirisnya di Indonesia sendiri, sebutan-sebutan atau istilah-istilah tersebut di atas belum familiar sama sekali, apalagi sampai bisa mengalahkan harga mati untuk sebutan TKW yang identik dengan konotasi negatif 'Babu di Luar Negeri'.

Dalam opini saya ini, saya tidak berminat untuk memperdebatkan bermacam sebutan yang ada atau istilah yang baru digulirkan. Karena kalau ingin membahas lebih jauh dan mendalam mengenai istilah dan penggunaannya tentunya harus ada seminar atau lokakarya khusus dengan menghadirkan nara sumber ahli bahasa.

Kembali kepada ketertarikan saya pada pertanyaan yang saya sebutkan di awal tulisan, tentang sebutan apa yang lebih bermartabat (baca; menjunjung harga diri dan rasa kemanusian) bagi saya dan teman-teman saya di luar negeri. Menurut saya pribadi pertanyaan ini tidak penting untuk dijawab, sebab apalah arti sebuah sebutan yang disematkan kalau pada kenyataannya orang-orang yang mendapatkan sebutan tersebut tetap berada pada kondisi yang sama.

Pergantian sebutan atau istilah apapun untuk warga negara Indonesia yang sedang mencari nafkah di luar negeri jika tidak dibarengi dengan pergantian sudut pandang, sikap dan cara perlakuan pada umumnya sama saja dengan omdo. Artinya, untuk apa membuat sebutan baru dan meributkannya atau sengaja memancing opini, jika sebutan atau istilah baru itu sendiri hanya dimaksudkan untuk membedakan/ menggantikan sebutan yang sudah ada atau agar dianggap lebih kekinian dari orang lain.

Jika kita mau jujur berdasarkan fakta yang ada, sebutan atau istilah pahlawan devisa dari pemerintah sekalipun, sama sekali bukan jaminan untuk adanya bentuk perlakuan yang lebih baik atau lebih bermartabat bagi para buruh /pekerja migran.

Bahkan perlakuan buruk yang dialami oleh para pekerja Indonesia tidak jarang terjadi karena orang-orang Indonesia sendiri yang tidak bisa atau tidak mau memperlakukan para buruh/pekerja migran dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kasus yang terjadi pada proses pra keberangkatan di PJTKI, di negeri penempatan hingga di bandara kepulangan.

Jadi apa pentingnya memikirkan dan mempertanyakan sebutan atau istilah yang lebih bermartabat untuk orang-orang yang sedang mencari nafkah di luar negeri? Jika sebutan itu masih akan terus berganti seiring bergulirnya waktu. Toh pada akhirnya sikap dan cara memperlakuan jauh lebih penting dari sekedar sebutan. Bahkan sebutan 'babu' sekalipun menurut saya masih bisa diterima dengan lapang dada oleh kami jika pada prakteknya dibarengi dengan sikap menghargai serta perlakuan yang baik sebagai manifestasi pemikiran bahwa 'babu juga manusia'.

Tidak ada komentar:

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...