Jumat, 26 Januari 2018

Obrolan warung kopi pasar paing


https://account.ratakan.com/aff/go/indo1212?i=1539
Selamat malam sahabat Bakul getuk. Pengin tidur tapi belum ngantuk, mungkin efek minum kopi yang saya sedu sendiri dan belum juga habis. Untuk menemani nulis artikel:
Sebuah gubuk sederhana dengan dua buah pintu pada sisi kanan dan kiri serta sebuah jendela semata wayang mengapitnya di tengahnya, disitu masih menunjukan aktivitas sore.  Mungkin inilah satu-satunya warung yang buka duapuluh empat jam di pasar ini.
Dengan penerangan lampu pijar seadanya dan kedua buah pintu yang hanya ditutup selembar tipis kain gorden lusuh warung ini malah terlihat ramah dan menanti orang-orang yang hendak Singgah. Pasar paling sebuah lokasi favorit penduduk kelas menengah ke bawah untuk bersosialisasi yang jaraknya kurang dari dua kilometer jauhnya dari rumah. Di sinilah terdapat sebuah warung kopi yang mulai buka sebelum hari Pasaran Paling tiba, itu artinya warung kopi ini buka tiap lima hari sekali dan selalu ramai bukan karena menunya yang istimewa, atau tempatnya yang mewah, maupun pemiliknya yang rupawan serta ramah. Warung ini menawarkan sebuah pengalaman sederhana yang justru saat ini orang jarang melakukannya, bersosialisasi langsung dengan cara berbagi cerita satu sama lainnya.
Sore itu, sama seperti Sore-sore pasaran sebelumnya yaitu kebiasaan saya tiap hari pasaran tiba, saya akan menyempatkan datang ke tempat ini, hanya sekedar untuk menikmati kopi pahit sambil ngobrol dengan sesama pecinta kopi. 
 Dari kejauhan sudah terdengar obrolan dan tercium kepulan asap rokok lintingan khas pedesaan yang baunya begitu khas beraroma campuran tembakau dengan kemenyan. 
Seorang kakek-kakek tengah duduk santai dengan satu kakinya diletakan di atas sebuah bangku kayu sederhana, sementara tangan satunya tengah asik memegang lintingan rokok kemenyan yang terus mengepulkan asap hingga memenuhi seisi ruangan sempit ini. Sembari bercerita sesekali mulutnya menghisap lintingan terlihat asap mengepul dari ulutnya yang terus komat-kamit berbicara has ngapak di depan meja yang tertutup taplak dari bekas spanduk reklame sebuah rokok, terlihat seorang perempuan berambut ikal yang tengah mendengarkan dengan seksama cerita dari si kakek tadi.
Sementara itu perempuan berkulit legam dengan  rambut panjangnya yang disanggul ala kadarnya dan tengah menghadap sebuah tungku “pawon” itu adalah pemilik warung. Ibu Pinah nama perempuan pemilik warung kopi jadul yang masih mencoba bertahan di tengaheuforia berbagai jenis warung makan baru di pasar desa ini.
“Asalamualaikum” sela saya saat memasuki warung pecel ini yang tengah ramai dengan obrolan beberapa orang di dalamnya.
Dari balik meja sudah  tersungging senyum manis Ibu Pinah yang sudah hafal betul dengan kedatangan saya sore itu.
“Sugeng sonten, mas” . Jawab Ibu Pingah dengan muka sumringah.
Kali ini saya langsung memesan secangkir kopi dengan gorengan tempe favorit. Sambil mendengarkan obrolan ketiga orang yang sempat terhenti dan kini berlanjut kembali. 
“Ah ini yang selalu saya suka dari tempat ini”  Sahut saya dalam hati.
Saya pun memberanikan diri menyapa kakek dan perempuan yang tengah seru-serunya berbincang.
“Sugeng sonten” -yang langsung dibalas dengan senyum dan lontaran pertanyaan.
“Sering mengeneh, mas ??” tanya sang kakek.
“Wah, meh unggal minggu teng mriki, kek” Jawab saya dengan melempar senyum kecil. 
Kakek tadi bernama parjo, pemilik warung Ibu Pinah dan perempuan satunya adalah cucunya, Maryati yang semlohe, menjadi dayatarik pengunjung berlama-lama di sini. Ketiganya merupakan satu saudara tiga generasi, kakek, anak dan cucu.
Ibu Painah yang dari tadi sibuk membolak-balik isi wajan penggorengan berupa gorengan ketan dan tempe mendoan serta sesekali menambah kayu bakar ke dalam mulut tungku kayu bakarnya pun ikutan nimbrungmenimpali dalam bahasa ngapak Banyumasan 
“Kie li anake pak Nur Kasan, putune allmarhum kaki  santareja pejengkolan
Kini setelah tahu jika saya adalah cucu dari almarhum Kakeh Mahwari, rasa antusiasnya pun makin menjadi. Setidaknya saya bisa tahu dari cara duduknya yang kini berubah dari posisi santai ke posisi sejajar dengan bahu tegap. Matanya pun kini berbinar dan kepulan asap rokoknya kian meredup.
Pandangannya kini beralih pada langit-langit warung yang penuh bekas jelaga legam dan sarang laba-laba. Waktu seakan hendak mundur beberapa puluh tahun ke belakang dan saya pun ikut merasakannya.
“Gemien, kaki-mu karo aku kue, kancanan. Jaman gemien esih sering latian “terbangan” bareng giliran meng umah-umah”.
Kakek santareja seakan tengah mengenang masa-masa manis saat masih muda dulu dan senyum tanda kebahagiaan tersungging manis dari bibir keriput dan legam.
“Ooo, brarti mbiyen, kakek satar niku kancane kakine kulo?” 
“Iya, kancanan. Gemien jamanku esih akeh kanca sebayan sing ndue kesenangan pada, tapi siki wis pada ra ana” 
Memang, untuk seumuran orang saat ini, kakek santareja boleh dibilang mempunyai umur yang panjang. Beliau kini berumur hampir 90 tahun, sementara rata-rata umur orang saat sekarang ini mencapai 65 tahun.
Beliau pun bercerita mengenai pengalaman hidupnya saat jaman masih muda dulu. Pernah beberapa waktu mendapat tawaran pekerjaan di kota Kembang, Bandung namun kedua orang tuanya tidak mengijinkan anaknya merantau terlalu jauh dan berharap bekerja di kampung saja. Hingga takdir yang menggariskannya untuk berjodoh dan tinggal di kampung sendiri hingga tua dengan perempuan satu kampung yang beberapa dua tahun lalu meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Tergurat raut muka sedih dari balik senyumannya yang menandakan rasa kehilangan yang teramat sangat karena ditinggal belahan jiwanya hingga benar-benar maut yang memisahkannya.
Waktu seakan mengingatkan saya saat beberapa tahun yang lalu ketika memulai perjalanan pertama seorang diri, jauh dari rumah menuju Jakarta untuk mengadu nasib mencari pekerjaan.
Sebuah perjalanan pertama kalinya ke ibukota.
Perjalanan yang mengajarkan arti sebenarnya dari sebuah perjalanan hidup.
Perjalanan pertama selepas lulus sekolah menengah kejuruan.
Perjalanan dalam rangka mencari pengalaman kerja yang bertahan hanya beberapa bulan saja dan kembali lagi ke kampung halaman.
Sebenarnya obrolan dengan kakek santareja, ibu Painahh dan Eneng maryati masih panjang, namun saat hari makin gelap dan terdengar samar-samar suara panggilan adzan, membuat saya buru-buru meminta dibungkuskan saja seporsi pecel dan beberapa gorengan tempe mendoan yang masih mengepul dan mengurungkan diri untuk menyantapnya langsung di sini.
Dengan cukup membayar selembar uang tujuh ribuan, sore itu saya mengakhiri sebuah pengalaman baru dan makna dari sebuah perjalanan. Bahwa sebuah perjalanan mengajarkan bukan seberapa jauh kamu melangkah namun seberapa berkualitas inti dari sebuah perjalanan itu sendiri. Sebuah obrolan sederhana namun sarat makna dari dalam warung pecel di tengah Pasar paling KEBUMEN

Tidak ada komentar:

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...