Kamis, 08 Februari 2018

Rohani



Di dunia ini manusia dapat menemui banyak macam agama, aliran dan berbagai macam jenis spiritualitas. Itu semua diperkenankan untuk mengada karena Tuhan adalah Tuhan yang Maha Pengasih-Penyayang sekaligus Maha Tahu. Tahu bahwa karakter tiap manusia tidaklah sama. Tahu bahwa kapasitas, kemampuan, bakat, ketertarikan, budaya dan cara mengada tiap-tiap manusia tidaklah sama. Tidak sama bukan karena kecelakaan rohani, tetapi justru adalah karena KehendakNya. Ada yang mau membantah ini? Silakan.
Mengapa perbedaan diciptakanNya?
Tiada lain tiada bukan adalah agar proses penempaan rohani itu dapat berlangsung di atas muka bumi ini. Bila semuanya sama dan hanya karena keterpaksaan, maka jiwa manusia tidak akan dapat tumbuh alami berseri secara sejati apa adanya. Bagai batu-batu alam yang baru ditambang, semuanya hanyalah bongkahan kasar yang berdebu, tetapi karena digosok secara telaten dan lama, berubahlah jadi batu permata yang bernilai tinggi. Begitulah pula manusia, perbedaan diadakan olehNya agar terjadi proses gosok-menggosok yang mendewasakan jiwa manusia. Tidak hanya mendewasakan, tetapi juga mentranmutasi bahan baku itu terangkat menjadi suatu yang secara substansial lebih luhur.
Perbedaan itu terjadi, karena tiap-tiap jiwa diberikan alur perjalanan hidup yang berbeda-beda melalui banyak kehidupan sebelumnya. Jiwa-jiwa yang dulunya tertindas akan cenderung menuntut Keadilan. Jiwa-jiwa yang terkoyak perang dalam kehidupan masa lalunya akan cenderung menjadi anti-perang atau bisa juga salah kedaden sebaliknya muncul nafsu yang besar untuk berperang (membalas dendam). Jiwa-jiwa yang dulunya makmur berkelimpahan, maka impuls utama batinnya lebih cenderung pada ajaran-ajaran yang bersifatkan Kasih dan Memberi.
Semua tumpukan karma masing-masing inilah yang dilihat oleh beberapa cenayang sebagai roh-roh di alam baka yang memanggul beban bekalnya masing-masing. Ada yang membawa bungkusan besar, ada juga yang hanya menenteng kecil. Ada yang terlihat kaya raya, ada yang seperti roh gelandangan.
Ketika mereka kembali turun ke bumi, maka life-quest dan kemampuannya (kapasitasnya) pun berbeda-beda. Ada yang mudah menerima ajaran kebijaksanaan, ada yang tidak mudhengan. Tapi bukan berarti lebih buruk, barangkali jiwa-jiwa yang sederhana itu justru lebih kuat memanggul pelajaran melalui laku-praktek bhavana (meditasi, puasa, tarak, dsb) atau melalui pelayanan2 sosial kepada masyarakat (voluntir, sukarelawan, pekerja sosial, dsb), ada juga yang melalui bhakti kepada negeri / bangsa, dll.
Masing-masing sesuai karakter bawaannya. Karakter jiwanya itu akan menimbulkan rasa cocok atau tidaknya dengan sesuatu. Mereka yang cocoknya di Jnana Yoga (jalur analitikal intelektual) akan merasa cepat bosan dan akhirnya quit bila dipaksa hanya menerima cekokan2 hapalan "pokoknya begini". Tapi sebaliknya mereka yang cocoknya di Bhakti Yoga (jalur pengabdian) maka akan merasa sangat berat untuk diajak berpikir mendalam.
Itu baru dari segi jenis karakternya. Dari segi kapasitasnya juga bisa bermacam-macam.
Mereka yang berkapasitas "small" merasa cukup dengan asal patuh dan menjalankan apa yang sudah diperintahkannya. Tetapi mereka yang berkapasitas "medium" mungkin butuh sesuatu yang lebih besar. Mereka tidak cukup hanya terima perintah dan patuh, tapi menuntut untuk paham mengapa harus melakukan ini dan itu. Sementara mereka dengan kapasitas "Big" tidak cukup hanya berhenti sampai pada tahap paham saja, tetapi juga mendobrak keluar untuk mencari terobosan baru melebihi dari apa yang sudah ada menemukan yang paling inti : satu anak kunci yang dapat membuka semua pintu.
Masih banyak lagi parameter-parameter lain yang dapat digunakan untuk cara memandang perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam spektrum realitas kejiwaan dan budaya manusia di atas muka bumi ini. Tetapi semua itu hanyalah ILUSI. Ya betul, saya katakan ilusi karena perbedaan itu sejatinya bukanlah sesuatu yang nyata. Dirasakan "nyata" hanyalah karena faktor kejatuhan (fallen-ness) manusia ke dalam individualitasnya masing-masing. Bila bisa keluar dari kungkungan individualitas itu, maka perbedaan-perbedaan itu mencair. Apa yang tadinya ia begitu yakin lihat benar2 "ada" disitu, sekarang disadarinya hanyalah sebagai sebuah momen transien (kesementaraan) dari faktor-faktor pengkondisi yang membentuk  ke-ada-an itu.
Untuk menjelaskan di atas, saya beri sebuah alegori kisah sbb:
Seorang Raja mengirim anaknya untuk dibesarkan jauh diluar istana. Suatu ketika menjelang saatnya, maka ia perlu mengundang putranya kembali ke istana. Tetapi karena banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai putranya, maka ia perlu menguji manakalah yang asli putra  terkasihnya.
Oleh karena itu ia mengumumkan pada rakyat bahwa siapa saja yg merasa putra sah hendaknya dapat datang menemuinya di istana. Untuk itu ia menciptakan ilusi-optik di taman istananya. Lalu ia menginstruksikan para pengawalnya untuk mengantar setiap orang yang datang untuk berjalan melewati taman-ilusi itu.
Yang pertama dan kedua datang bersamaan masuk melalui taman itu dan dengan segera melihat adanya dayang-dayang kraton yang cantik-cantik muda imut sedang bermain-main bercanda ria dengan tanktop. Orang yang pertama segera ia tergiur dan berpikir, "Ahh inilah surga yg sebenarnya, ternyata tidak jauh2 amat".  Temannya yang disampingnya tidak tertarik dengan itu, ia meneruskan langkahnya masuk semakin ke dalam taman. Tiba-tiba ia melihat pundi-pundi perak berkilau. Ia terkejut melihat itu dan segera hatinya berbunga2 timbul serakah dengan segera mengumpulkan kepingan2 perak itu untuk dibawa pulang. "Bertemu dengan Raja belum tentu berhasil, lebih baik ambil ini saja sudah cukup".
Orang  yang ketiga datang melewati ilusi dayang dan perak itu, hatinya tetap tak bergeming. Tetapi ketika berjalan lebih ke dalam lagi , ia melihat adanya kepngan2 emas yang menumpuk tinggi. Dengan segera matanya jadi "hijau" dan ia mulai sibuk mengumpulkan itu untuk dibawanya pulang, sembari bergumam,  "Mungkin sang raja hendak mengundang saya hendak memberi ini". ...
Orang yang keempat terhenti ketika dalam perjalanannya di taman-ilusi ditawari sebagai pejabat istana. Ilusi kekuasaan. Orang yang kelima terhenti ketika melihat cahaya pengetahuan  berpendar2 berputar abstrak sedemikian indahnya diiringi musik indah dan gemericik air jernih,...perhentian pengetahuan...perhentian ketenangan... dan seterusnya.
Hingga terakhir giliran putranya sejati yang melewati taman-ilusi itu. Tapi karena kecintaannya yang sejati, maka ia tidak peduli dengan semua "intermediate-gain" (perolehan di-antara) itu, dan terus melaju berjalan untuk menemui ayahandanya di istana. Tiada hal lain yang lebih besar daripada kerinduannya pada Ayahandanya.
Demikianlah pula dunia in adalah Taman Ilusi tersebut. Berbagai agama, aliran dan jenis-jenis spiritual mengajak jalan pulang tetapi perhentiannya tidak sama. Semua memang mengklaim membicarakan "Yang Akhir", tetapi dalam praktek senyatanya tujuan-tujuan intermediate itu seringkali yang menjadi motif utamanya. Itulah yang menyebabkan adanya orang yang tuntas pada masa kehidupan kali ini, tapi jauh lebih banyak yang harus melanjutkan pelajaran di kehidupan selanjutnya manakala telah 'naik-kelas' (kapasitasnya jadi lebih besar).
Rahayu!

Tidak ada komentar:

PREPEGAN

– Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Prepegan ? Masyarakat Desa kebumen tentu tidak asing lagi mendengar kata Prepe...